Bawaslu RI akhirnya (25/10) memutuskan bahwa laporan dugaan pelanggaran pemilu terkait pernyataan bohong Ratna Sarumpaet tidak termasuk dalam kategori pelanggaran kampanye. Laporan yang diajukan oleh Garda Nasional untuk Rakyat (GNR) juga oleh Lembaga Projo tersebut ditolak, meski Ratna tidak dapat diperiksa secara langsung karena masih dalam tahanan Kepolisian.
Kasus seperti Ratna mungkin bukanlah yang pertama dan menjadi satu-satunya yang akan menyibukkan Bawaslu sebagai garda depan penegak hukum terkait pelanggaran pemilu. Sampai tahapan pemilu berakhir tahun depan, bisa jadi akan banyak pelapor --yang tanpa wawasan hukum memadai atau sengaja dengan motif politik tertentu-- memandang peristiwa hukum yang sebenarnya bukan bagian dari lex specialist hukum pemilu sebagai perbuatan hukum kepemiluan.
Pelanggaran hukum seperti kasus Ratna dalam istilah teknis kepolisian (karena saya pertama kali mendengarnya dari aparat polisi sekitar 3 tahun lalu) disebut sebagai tindak pidana terkait pemilu. Awalnya istilah ini merujuk pada perbuatan pidana yang terjadi masa pilkada, sehingga dinamakan tindak pidana terkait pilkada. Tapi, kemudian memasuki masa tahapan Pemilu 2019, penamaan perbuatan ini disesuaikan dengan momennya.
Namun, perlu diperhatikan bahwa perbuatan pelanggaran yang berhubungan dengan, tapi tak masuk bagian, kepemiluan tidak melulu dalam ranah pidana. Meskipun kemungkinan jenis ini yang lebih banyak terjadi. Pelanggaran pun bisa masuk dalam kategori hukum Tata Usaha Negara, khususnya wilayah hukum administrasi negara, seperti kasus mutasi pejabat tanpa alasan hukum oleh kepala daerah yang mendukung salah satu capres-cawapres.
Dalam pilkada misalnya, pelanggaran mutasi ini dilakukan sebelum masa 6 bulan penetapan paslon petahana agar menghindarinya menjadi pelanggaran administrasi pilkada yang berpotensi pada pendiskualifikasian diri sebagai calon.
Pelanggaran pun dapat terjadi dalam ranah hukum yang berujung pada penyelesaian di dalam kompetensi Pengadilan Negeri. Contoh terbarunya adalah kasus gugatan seorang kader ke Mahkamah Partai Nasdem terkait dengan dugaan tidak sahnya kedudukan hukum Surya Paloh sebagai Ketua Umum. Sengketa partai ini sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 33 UU Nomor 2 Tahun 2011 dapat berujung ke meja hijau Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung jika salah satu pihak tidak menerima putusan Mahkamah Partai.
Sebagaimana diberitakan media massa, Surya Paloh digugat karena dianggap jabatannya telah berakhir sejak Februari atau Maret lalu sesuai dengan batas masa periode 5 tahun sejak keterpilihannya dalam Kongres Partai Nasdem terakhir pada 2013. Gugatan ini berpotensi membuat segala tindakan hukum Surya Paloh setelah masa periodenya berakhir menjadi batal demi hukum, termasuk dalam pendaftaran caleg dan capres-cawapres untuk Pemilu 2019.
Oleh karena ranah pelanggaran ini tidak hanya menyangkut hukum pidana, tapi juga dapat memasuki wilayah persengketaan di bidang Tata Usaha Negara dan kompetensi Pengadilan Negeri, maka istilah yang lebih tepat untuk menyebut kategori perbuatan ini adalah Pelanggaran Hukum Terkait Pemilu. Disebut terkait pemilu karena beberapa alasan sebagai berikut.
Pertama, terjadi dalam masa tahapan pemilu. Kasus pembakaran bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di Garut yang masih ramai dibicarakan bisa masuk dalam kategori ini. Meski tidak terkait langsung dengan pemilu, tetapi memanasnya respons terhadap kejadian ini tak dapat dipisahkan dari momen pemilu. Andai terjadi tidak saat ini, mungkin situasinya akan sangat berbeda. Sebagaimana pada kasus Ahok dalam tuduhan penistaan agama untuk kasus Pilkada DKI Jakarta 2016 lalu yang menimbulkan aksi berkali-kali dalam jumlah massa yang sangat banyak.
Kedua, adanya keterlibatan peserta pemilu atau tim pemenangan. Perbuatan yang terjadi melibatkan peserta pemilu atau kelompok yang diduga dekat dengan peserta pemilu. Laporan terhadap Capres-Cawapres Nomor Urut 2 Prabowo-Sandi yang telah diputus Bawaslu terkait dengan kebohongan Ratna Sarumpaet di atas dapat dijadikan contoh karena Ratna sebelumnya adalah satu pimpinan tim pemenangan Prabowo-Sandi. Selain juga karena Prabowo sebagai peserta pemilu diduga terlibat dalam kegiatan terkait dengan kebohongan Ratna melalui konfrensi pers yang dilakukannya bersama timnya. Kasus Ahok, sekali lagi, merupakan contoh nyata untuk alasan ini karena dia sendiri adalah calon petahana yang akhirnya dipidana melalui putusan pengadilan.
Ketiga, asumsi adanya pengaruh terhadap perolehan suara dalam Pemilu. Tujuan utama pemilu adalah kemenangan dengan raihan suara tertinggi dari kompetitor. Setiap tindakan harus diarahkan pada tujuan akhir ini. Hal yang tidak berhubungan langsung dengan tindakan pemenangan, namun jika secara berpotensi untuk digiring atau dijadikan alat kemenangan akan ditunggangi untuk tujuan politik ini. Penyebaran hoaks yang mendiskreditkan calon tertentu untuk men-downgrade rating calon dapat masuk kategori ini. Hoaks yang diedarkan kadang berupa reproduksi berita atau cerita lama sebelum tahapan pemilu dimulai dan dilakukan oleh simpatisan yang tidak masuk dalam tim pemenangan. Mutasi jabatan oleh kepala daerah sebelum 6 bulan masa penetapan calon dalam pilkada juga dapat dimasukkan karena alasan ini.
Keempat, ditujukan untuk menjadi peserta pemilu atau membatalkannya. Pelanggaran di sini bisa dilakukan jauh sebelum masa tahapan resmi dimulai dengan target untuk mendapatkan karcis masuk dalam pemilu. Sengketa internal parpol terkait penggantian posisi jabatan ketua umum adalah contoh jamak yang dapat dilihat. Biasanya, mendekati masuknya tahun politik, terjadi pergesekan internal parpol yang berujung pada sengketa hukum, seperti terjadi pada Partai Persatuan Pembangunan (PPP) antara Romahurmuziy (Romi) dengan Djan Faridz tahun lalu. Sedangkan kasus Nasdem yang disebut di atas dapat dikelompokkan dalam tujuan negatif, yakni untuk membuat Partai Nasdem terlempar dari kertas suara Pemilu yang akan datang.
Dari keempat alasan di atas, tergambar bahwa pelanggaran yang terjadi semuanya memiliki koneksi dengan pemilu, baik langsung atau tidak, dengan tujuan politik yang jelas. Masuknya unsur politik inilah yang menyebabkan kaburnya posisi hukum pemilu dalam pelanggaran yang senyatanya tidak berada di kewenangan Bawaslu.
Edukasi hukum pemilu kita yang kompleks ini oleh penyelenggara pemilu sangat diperlukan agar pemilu dapat berjalan dengan demokratis dan jujur serta agar Bawaslu dapat fokus mengawal pengawasan dan menyelesaikan sengketa pemilu. Bukan malah terkuras energinya untuk mengurusi Pelanggaran Hukum Terkait Pemilu yang sejak awal memang bukan wilayah kompetensinya seperti memutus laporan soal Ratna Sarumpaet yang ternyata akhirnya dianggap bukan pelanggaran kampanye.
Untuk itu, karena pada dasarnya Bawaslu bukanlah lembaga judisial seperti pengadilan yang secara normatif dilarang menolak perkara, maka boleh saja sejak awal Bawaslu melakukan proses penyeleksian perkara yang dapat dilanjutkan untuk diperiksa atau tidak dalam tahapan pra-registrasi untuk memilah jenis Pelanggaran Pemilu atau Pelanggaran Terkait Pemilu. Tentu dengan catatan hak hukum semua pihak tetap harus dilindungi untuk berpartisipasi dalam mewujudkan pemilu yang berkualitas dan sesuai asas perundang-undangan.
Andi Syafrani dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta
(mmu/mmu)
No comments:
Post a Comment