Thursday, May 17, 2018

Pernikahan Di Bawah Umur: Antara Legislasi Dan Harmonisasi ...

MASALAH pernikahan di bawah umur di Indonesia mendadak mengemuka akhir-akhir ini. Utamanya dua anak SMP di Bantaeng, Sulawesi Barat mendaftarkan pernikahan mereka ke Kantor Urusan Agama. Calon pengantin wanita baru berusia 14 tahun 9 bulan, dan calon pengantin pria 15 tahun 10 bulan. Bahkan koran Manado Post Edisi 9762 hari Jumat, 4 Mei 2018  dalam berita utamanya mengangkat tentang begitu banyaknta siswa SMA yang tidak lulus UN di karenakan DO dan Kawin.

 

Nikah di bawah umur bisa menimbulkan masalah sosial dan masalah hukum. Pernikahan di Bantaeng membuka ruang kontroversi bahwa perkara nikah di bawah umur ternyata disikapi secara berbeda oleh hukum adat, hukum nasional dan hukum internasional. Kenyataan ini melahirkan, minimal dua masalah hukum. Pertama, harmoninasi hukum antar sistem hukum yang satu dengan sistem hukum lain. Kedua, tantangan terhadap legislasi hukum perkawinan di Indonesia terkait dengan perkawinan di bawah umur.

Hukum Perkawinan

Pemerintah  telah  mengeluarkan  Undang-Undang  Perkawinan  Nasional yang telah lama dicita-citakan oleh seluruh bangsa Indonesia, yaitu Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang kemudian demi kelancaran pelaksanaannya dikeluarkan suatu Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975.

Salah satu syarat dalam Undang-Undang Perkawinan yaitu mengatur tentang batasan umur terendah dalam melangsungkan perkawinan. Hal tersebut tertuang dalam pasal 7 ayat 1 yang berbunyi : “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita mencapai umur 16 (enam belas) tahun.” Dalam pasal tersebut mengatur prinsip bahwa calon suami istri harus masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar  dapat  mewujudkan  tujuan  perkawinan  secara  baik  tanpa berakhir dengan perceraian, dan mendapat keturunan yang baik dan sehat.

Tantangan Legislasi dan Harmonisasi Hukum Perkawinan serta Budaya

Pernikahan dua siswa SMP di Kabupaten Bantaeng Sulawesi Selatan seperti menampar wajah pembuat hukum dan aparat hukum negeri ini. Karena kasus ini sebenarnya bukan yang pertama dan bukan juga yang terakhir.  Praktek nikah di bawah umur juga mengisyaratkan bahwa Hukum Perkawinan Indonesia nyaris seperti hukum yang “tak bergigi', karena begitu banyak terjadi pelanggaran terhadapnya tanpa dapat ditegakkan secara hukum.

Urusan perkawinan memang berada dalam wilayah keperdataan.  Namun peristiwa tersebut adalah peristiwa hukum yang jelas menimbulkan sebab akibat dan hak-hak kewajiban para pihak. Maka, pengaturan dari negara tetap perlu. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 sudah mencoba mengatur dengan mengunifikasi hukum perkawinan. Hukum agama dan hukum adat diakomodasi dalam UU tersebut, disamping hukum perdata Barat. Dan sungguh ini bukan perkara yang gampang, karena selamanya unifikasi di wilayah hukum pribadi dan hukum keluarga adalah sesuatu yang sulit. Indonesia adalah negara yang kaya dengan pluralitas hukum dan pluralitas sosial budaya. 

Apabila perkawinan tidak diatur oleh negara akan berpotensi lahirnya ketidakadilan bagi pihak-pihak tertentu, utamanya bagi perempuan dan anak-anak yang dilahirkan. Dan akhirnya akan merembet pada keluarga luas, lingkungan, masyarakat, hingga akhirnya menjadi problem negara juga. Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga No. 23 tahun 2004 lahir antara lain karena maraknya fenomena kekerasan dalam perkawinan.

Dan inilah tantangan untuk hukum perkawinan kontemporer. Mampukah pembuat hukum dan aparat hukum mengkritisi dan melahirkan legislasi di wilayah hukum perkawinan yang menjamin perlindungan hukum bagi semua pihak dan pada saat bersamaan tetap melahirkan keadilan?  Kemudian,  mampukah pembuat hukum dan aparat hukum mengharmoniskan perbedaan klausul di berbagai sistem hukum perkawinan terkait dengan masalah-masalah perkawinan kontemporer?

Merevisi UU No. 1 Tahun 1974 adalah satu alternatif dan tidaklah terlalu ambisius. Namun juga bukan satu-satunya cara. Perlu dipikirkan harmonisasi dan lahirnya legislasi yang dapat mengakomodasi semua sistem hukum yang hidup tanpa harus mencederai hak-hak sipil masyarakat dalam wilayah hukum perkawinan. (*)

Let's block ads! (Why?)

Baca Di berikut nya http://manadopostonline.com/read/2018/05/17/Pernikahan-Di-Bawah-Umur-Antara-Legislasi-Dan-Harmonisasi-Hukum-Serta-Budaya/35476

No comments:

Post a Comment