TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Publik kembali dikejutkan dengan vonis 18 bulan penjara kepada Meiliana, seorang Ibu beretnis Tiongoa dan beragama Budha, yang didakwa melakukan penodaan agama hanya karena memohon untuk menurunkan kerasnya suara Azan.
Putusan ini, menurut Ketua Dewan Pengarah Nasional Tim Pembela Jokowi (TPJ), Rambun Tjajo, menjadi perhatian publik dan mengusik rasa keadilan. Menurutnya sebagaimana dalam kasus-kasus dengan tuduhan penodaan agama lainnya, seringkali diputus dalam situasi adanya tekanan massa.
“Kasus ini menujukkan adanya dugaan ketidakhati-hatian dan kurang tepatnya penerapan pasal penodaan agama oleh penegak hukum, khususnya para hakim di PN Medan yang menjatuhkan vonis tersebut,” Kata Rambun Tjajo, dalam siaran persnya, Jumat (24/8/2018).
Dijelaskan, dalam Pasal 156a Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), atau Pasal 4 UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, merupakan Pasal yang masih kontroversial.
Dalam uji materi UU No. 1/PNPS/1965, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengingatkan bahwa Undang-undang ini tidak boleh diterapkan secara sewenang-wenang dan diskriminatif. MK juga mendorong adanya revisi untuk memastikan UU tersebut tidak bertentangan dengan pluralisme Indonesia dan menjadi regulasi yang diskriminatif.
Serta perlunya penyempurnaan Undang-undang ini dari segi bentuk pengaturan, rumusan, kaidah-kaidah hukumnya, baik dalam lingkup formil perundang-undangan maupun secara substansi agar memiliki unsur-unsur materil yang lebih diperjelas sehingga tidak menimbulkan kesalahan penafsiran dalam praktik.
“Oleh karenanya, para penegak hukum haruslah bersikap hati-hati dan secara benar menafsirkan dan menerapkan ketentuan tentang penodaan agama,” Rambun menjelaskan.
Pentingnya sikap kehati-hatian para penegak hukum tersebut, menurut Rambun, tidak terlepas dari konstruksi Pasal 156a huruf a KUHP, yang secara ketat merumuskan perbuatan yang dianggap menodai atau menghina agama.
Pasal tersebut menyatakan: “… barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia…”
Pasal ini, menurutnya, juga telah memberikan penjelasan, “Tindak pidana yang dimaksud di sini, ialah semata-mata (pada pokoknya) ditunjukan kepada niat untuk memusuhi atau menghina”, serta “Dengan demikian, maka uraian-uraian tertulis atau lisan yang dilakukan secara obyektif, zakeliyk dan ilmiah mengenai suatu agama yang disertai dengan usaha untuk menghindari adanya kata-kata atau susunan kata-kata yang bersifat permusuhan atau penghinaan, bukanlah tindak pidana menurut pasal itu.”
Baca Di berikut nya http://www.tribunnews.com/nasional/2018/08/24/rambun-tjajo-kembalikan-marwah-penegakan-hukum-yang-berkeadilan
No comments:
Post a Comment