Bandung - Kasus prostitusi online marak menjadi perbincangan publik setelah pihak Polda Jawa Timur mengungkap dan menangkap seorang artis berinisial VA dan seorang model berinisial AV atau AS di sebuah hotel di Surabaya, pada Sabtu (5/1) lalu.
Pihak kepolisian kemudian menetapkan dua orang berinisial ES dan TN yang diduga muncikari sebagai tersangka. Kedua tersangka dijerat Pasal 27 Ayat 1 dan Pasal 45 Ayat 1 tentang UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Transaksi Elektronik serta Pasal 296 juncto Pasal 506 KUHP. Sementara VA yang sempat ditangkap dan diperiksa, dibebaskan dan diharuskan wajib lapor. Belakangan, tepatnya pada Rabu (16/1), kepolisian pun menetapkan VA sebagai tersangka dengan jeratan Pasal 27 Ayat (1) UU ITE.
Rasa keadilan masyarakat kemudian terusik lantaran pengusaha yang disebut menggunakan jasa VA masih bebas dan tak dijerat hukum hingga saat ini. Sebagian masyarakat menilai pengungkapan kasus ini diskriminatif dan bias gender karena hanya mengeksploitasi sang perempuan, sementara pengusaha yang menjadi 'pengguna jasa' masih berkeliaran bebas.
Untuk membahas hal ini, Ilumni Fakultas Hukum Universitas Parahyangan (FH Unpar) Bandung menggelar diskusi dengan tema 'Prostitusi Online dalam Perspektif Hukum dan Permasalahannya' pada akhir pekan lalu. Diskusi ini menghadirkan sejumlah pakar dan praktisi hukum sebagai pembicara, seperti Djisman Samosir (ahli pidana/ Lektor Kepala Fakultas Hukum Unpar), Agustinus Pohan (Pakar Hukum Pidana), I Gede Panca Astawa (Pakar Hukum Administrasi Negara), Denny Kailimang (advokat senior), Roelly Panggabean (praktisi hukum), Liona Nanang Supriatna (pakar hukum pidana) dan Kuswara Taryono (Dewan Kehormatan Ilumni FH Unpar.
Ketua Ilumni FH Unpar, Ivan Petrus Sadik menjelaskan alasan pihaknya menggelar diskusi ini. Secara pribadi, Ivan menilai rasa keadilan masyarakat terusik jika kasus prostitusi online hanya menjerat muncikari, sementara penjaja dan pengguna jasa tak tersentuh hukum.
"Saya pikir rasa keadilan seharusnya hadir dan hukum ini tidak boleh memihak siapapun. Karena untuk rasa adil ini ada yang bersifat universal. Saya rasa kalau memang hal ini harus diterapkan hukum, semuanya harus kena. Baik PSK, yang memesan maupun muncikarinya. Tidak boleh terpisah masing-masing. Kalau hanya muncikarinya tidak akan mungkin bisa tercapai (rasa keadilannya) karena mereka semua saling berkaitan," kata Ivan.
Gede Panca Astawa menilai hukum di Indonesia saat ini gugup menghadapi prostitusi online. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan tiga Undang-undang yang menyinggung soal prostitusi atau sejenisnya tak mampu menjerat pengguna jasa prostitusi online. Tiga UU itu, yakni UU nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) , UU nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi dan UU nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
"Ketiga UU ini tergagap tidak bisa menjawab. Bukan tidak mungkin ke depan akan muncul lagi kasus yang sama," kata Gede Panca.
Gede Panca memaparkan, Pasal 27 UU ITE kerap diterapkan penyidik dalam kasus prostitusi online. Namun, Gede Panca menegaskan, pasal tersebut tidak dapat diterapkan kepada penjaja dan pengguna jasa prostitusi online. Hal ini lantaran pasal tersebut hanya mengatur perbuatan yang dikarang yakni mendistribusikan atau memudahkan diaksesnya informasi elektronik yang melanggar kesusilaan.
"Sama sekali tidak bicara prostitusi. Tidak bisa digunakan sebagai dasar untuk melakukan penindakan prostitusi online. Kenapa tidak bisa? Karena baik artis, termasuk muncikarinya tidak melakukan kejahatan mendistribusikan atau membuat diaksesnya informasi elektronik yang melanggar kesusilaan," katanya.
Terkait UU Pornografi, Gede Panca menjelaskan, aturan dalam UU tersebut tidak mengatur soal prostitusi online. UU ini hanya membatasi ihwal membuat kecabulan atau eksploitasi seksual melalui sketsa, gambar, ilustrasi dan lainnya. Sementara UU Perdagangan Orang juga tidak dapat menjerat pelaku prostitusi online jika perbuatan tersebut dilakukan sukarela tanpa merasa tereksploitasi.
"UU ini secara spesifik mengatur perdagangan orang yang harus dilakukan dengan ancaman kekerasan. Prostitusi online sama sekali tidak bicara soal ancaman kekerasan. Gugur juga ini. Tiga UU sudah gugur," paparnya.
Ditambahkan Gede Panca, aturan yang mungkin dapat digunakan adalah Pasal 296 KUHP. Namun, katanya, pasal ini juga hanya mampu menjerat muncikari. Pasal 296 KUHP menyatakan 'Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah'.
"Lantas bagaimana KUHP bisa menjawabnya? Kita ketahui KUHP yang kita warisi saat ini peninggalan Belanda. Tentu saja dia (KUHP) tergagap-gagap merespon kemajuan IT," katanya.
Ditegaskan, hukum seharusnya ditegakkan secara obyektif. Untuk itu, berdasar asas legalitas, penegak hukum harus memiliki dasar hukum untuk menindak. Ditegaskan jangan pernah memaksakan hukum pidana sebagai primum remedium atau alat utama dalam penegakan hukum kalau memang tidak ada dasar hukumnya.
"Penyelesaian prostitusi online harus mengedepankan due process of law atau proses hukum yang adil," katanya.
Untuk itu, Gede Panca mengatakan, terdapat dua hal yang bisa dilakukan dalam merespon kasus prostitusi online. Dalam hukum administrasi negara, penegak hukum bisa menggunakan diskresi atau melalui pendekatan hukum responsif yakni dengan cara mendorong instrumen-instrumen hukum yang lebih dinamis bagi penataan dan perubahan sosial.
"Artinya, hukum harus secara responsif menjawab keresahan-keresahan yang timbul akibat prostitusi online. Dengan cara apa, mau tidak mau, para legislator kita bersama presiden segera menjawab itu dengan cara revisi UU dan KUHP yang tidak bisa menjawab prostitusi online," katanya.
Pakar Hukum Pidana, Agustinus Pohan menegaskan, Pasal 296 KUHP hanya bisa menjerat muncikari yang menjadikan prostitusi online sebagai mata pencaharian. Dikatakan, KUHP tidak pernah bermaksud mengkriminalisasi perilaku seksual kecuali yang memperbudak dan menjadikan prostitusi sebagai mata pencaharian atau perilaku seks di luar pernikahan yang tergolong perzinahan.
"Kalau sekarang mau mengkriminalisasi pemakai, tidak dalam konteks perzinahan, sama dengan mendukung yang ada dalam RUU KUHP yang mau membawa KUHP kita ke kamar tidur," katanya.
Secara sederhana, Agustinus mengatakan, tidak ada satupun orangtua yang membenarkan perilaku seksual yang dilakukan anak mereka di luar pernikahan. Namun, tidak ada satu pun orangtua yang ingin menyerahkan anak mereka ke petugas sipir di penjara terkait perilaku seks di luar pernikahan. Menurutnya, penegakan hukum bukan jalan keluar untuk membina masyarakat yang melakukan hubungan seksual di luar pernikahan.
"Sangat bodoh bagi saya jika kita menyerahkan anak-anak kita kepada sipir penjara untuk dididik. Belum ekses-ekses lain. Macam-macam. Kalau itu dikriminalisasi, maka mereka yang melakukan seksual di luar pernikahan dan hamil, mereka tidak akan pernah berobat karena sama dengan menyerahkan diri. Akibatnya, mereka menjauhkan diri dari sarana kesehatan, pada akhirnya janin tidak sehat dan menjadi beban negara," paparnya.
Ditegaskan Agustinus, tidak setiap perilaku buruk ditangani dengan hukum pidana. Padahal, hukum pidana merupakan ultimum remedium atau sanksi terakhir dalam penegakan hukum.
"Kalau memang ada sarana lain yang lebih baik maka harus diberdayakan," katanya.
Sementara, Liona mengungkapkan, dunia hukum di Indonesia menjadi dunia laki-laki sehingga produk hukumnya bercorak laki-laki. Hal ini setidaknya tercermin dari produk peraturan perundang-undangan terkait dengan prostitusi menempatkan perempuan sebagai pihak yang disalahkan.
"Jadi bias gender. Ada proses kriminalisasi terhadap wanita dan bahkan bentuk tubuh wanita. Kita bisa berikan contoh mulai dari UU hingga perda," katanya.
Liona mengatakan, hal ini berbeda dengan hukum di Swedia. Dikatakan, Swedia sebelumnya dikenal sebagai negara dengan tingkat prostitusi yang tinggi. Namun, persoalan itu bisa ditekan melalui peraturan perundang-undangan yang dibentuk legislatif yang setengahnya dihuni oleh kaum perempuan. Salah satu produk hukum yang dibentuk, yakni menjerat 'pengguna' jasa prostitusi atau demand side. Sementara penyedia jasa atau supply side tidak dihukum, tapi dibina dan dididik bila terkait persoalan ekonomi dan dibina psikiater jika persoalannya hal lain.
"UU ini telah berhasil mengurangi 80 persen prostitusi jalanan maupun online dan lainnya. Ini perlu kita pelajari," katanya.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Golkar, John Kenedy Azis mengatakan ada banyak perangkat hukum yang menyinggung soal prostitusi online. Untuk itu, John yang juga anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR meminta setiap pihak untuk memberikan masukan kepada DPR terkait perbaikan atau revisi peraturan perundang-undangan terkait dengan prostitusi online.
"Semoga ada masukan pada kami di DPR dalam pembahasan terkait persoalan ini," katanya.
No comments:
Post a Comment