Komnas Perempuan dan pakar hukum menilai keputusan pengadilan menghukum WA tidak tepat.
Komisioner Komnas Perempuan Adriana Venny Aryani mengatakan, masalah dasar korban mengalami kriminalisasi ialah ketidakpahaman soal HAM perempuan.
“Jaksa masih tidak sadar bahwa tuntutan yang ia ajukan itu salah karena korban masih di bawah umur dan merupakan korban perkosaan. Jaksa tidak membayangkan jika itu terjadi kepada anak perempuannya,” kata Venny, Minggu (5/8/2018).
Padahal, Mahkamah Agung (MA) telah menerbitkan Peraturan MA Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum pada 11 Juli 2017.
Sejak 4 Agustus tahun lalu, peraturan ini mulai berlaku dan menjadi pegangan bagi para hakim di semua tingkat peradilan, termasuk MA ketika mengadili jenis perkara ini.
Venny berpendapat pengetahuan tentang perspektif gender sangat penting bagi para penegak hukum. Tujuannya agar mereka mampu mencegah kriminalisasi terhadap perempuan dalam kasus apapun.
Karena, tambah Venny, dengan memahami pandangan gender diharapkan proses hukum dapat berpihak kepada kaum hawa.
Untuk itu, Komnas Perempuan bersedia jika aparat penegak hukum meminta pelatihan perspektif gender. Masalahnya, apakah mau atau tidak para aparat itu mempelajari perspektif perempuan dalam konteks hukum.
“Kami sangat terbuka jika mereka minta pelatihan dengan Komnas Perempuan,” ucap Venny.
WA ditangkap polisi karena diduga membuang janin hasil aborsi. Janin tersebut diketahui terbentuk karena WA diperkosa oleh kakak kandungnya, AA, 18 tahun.
AD, ibu kedua anak ini, awalnya tidak tahu WA dihamili oleh AA. Namun ia sadar dan berupaya melakukan aborsi, termasuk menggunakan ramuan tradisional hingga memijat perut WA.
Kasus ini kemudian diproses secara hukum. WA harus mendekam di penjara selama enam bulan dengan tuduhan telah melakukan aborsi. Sementara AA dijatuhi hukuman dua tahun penjara karena melakukan pemerkosaan.
Pakar Hukum Pidana Universitas Parahyangan Agustinus Pohan mengatakan hakim tidak tepat menghukum WA karena hakim mengesampingkan aspek kejiwaan/psikologis "korban".
"Seandainya aborsi itu di luar 40 hari kehamilan, pidana tersebut tidak tepat. Masih ada cara lain yang mempertimbangkan aspek kejiwaan korban," kata Agustinus kepada Tirto, Senin (23/7/2018).
Dengan mempertimbangkan kejiwaan WA yang merupakan korban perkosaan kakaknya sendiri, mantan mahasiswa Arizona State University ini mengatakan korban harusnya dimaafkan. Ia juga merujuk pada KUHP Pasal 48 yang menyebut "orang yang melakukan tindak pidana karena pengaruh daya paksa, tidak dapat dipidana."
No comments:
Post a Comment