TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Selain bertumpu pada fakta-fakta persidangan, pledoi yang dibacakan secara bergantian oleh penasehat hukum mantan Ketua BPPN Syafrudin A. Temenggung (SAT) juga mengutip filosofi pahlawan nasional Sam Ratulangi yang terkenal Mapalus dan Si Tou Timuo Tumou Tou.
Arti filosofi tersebut adalah manusia baru dapat disebut manusia, jika sudah dapat memanusiakan manusia.
Baca: PKS Sampaikan Laporan Awal Dana Kampanye Rp 17 Miliar
Baca: 29 Orang Tewas Diserang Saat Parade, Iran Panggil Diplomat Denmark, Belanda dan Inggris
Tim penasehat hukum SAT beralasan mereka sangat yakin bahwa tidak ada satupun fakta persidangan dan pendapat para ahli yang menunjukan SAT telah melakukan perbuatan melawan hukum saat menerbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI kepada pemegang saham BDNI Syamsul Nursalim (SN) pada April 2004 lalu.
Sebelumnya Jaksa KPK menyatakan SAT telah memperkaya orang lain atau korporasi atas penerbitan SKL terhadap pemegang saham PS Bank BDNI sebagai penerima BLBI.
"Menuntut oleh karenanya pidana penjara 15 tahun dan denda Rp 1 miliar atau subsider enam bulan kurungan," ujar Jaksa Khairuddin di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, pekan lalu.
SAT dianggap melanggar Pasal 2 Undang-Undang Tipikor jo. Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Penerbitan SKL oleh SAT dinilai jaksa merupakan perbuatan melawan hukum karena pada proses penyelesaian BLBI telah terjadi misrepresentasi oleh pemegang saham mayoritas BDNI, SN.
Dalam proses persidangan yang berlangsung sejak Juni lalu tim penasehat hukum SAT menganggap, banyak kejanggalan yang perlu diamati dan dicermati.
Antara lain, menurut mereka, adalah terkait audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2017 yang diminta oleh KPK.
Dalam audit ini, pemberian SKL BDNI oleh SAT dinyatakan telah merugikan negara Rp 4,5 triliun, dan ini bertolak bertolak belakang dengan hasil BPK 2002 pada dan 2006 yang menyatakan SN telah melunasi semua kewajibannya dan tidak ditemukan masalah.
"Dalam persidangan terungkap, audit BPK 2017 ternyata tidak memenuhi prinsip audit yang independen dan tidak menerapkan prinsip asersi sehingga tidak memenuhi standar pemeriksaan keuangan yang diatur BPK sendiri, yaitu Peraturan BPK No. 1 Tahun 2017, khususnya butir 21 sampai dengan 26," kata salah seorang penasehat hukum SAT, Ahmad Yani.
Kejanggalan, sambungnya, juga terlihat dalam soal misrepresentasi. Pada tuntutannya jaksa menyebutkan SN telah melakukan misrepresentasi dalam soal kondisi kredit tambak udang. Fakta persidangan menunjukkan sangkaan ini tidak terbukti.
Sementara Ahli hukum perdata, Prof Nindyo Pramono dalam kesaksiannya menyatakan perjanjian penyelesaian BLBI antara SN dan Pemerintah bersifat perdata sehingga penetapan terjadi misrepresentasi atau tidak, harus melalui keputusan pengadilan perdata.
"Jalurnya digugat dahulu di perdata, dibuktikan dahulu misrepresentasi atau tidak," kata Nindyo.
Soal tanggung jawab kerugian negara, dalam persidangan terungkap ini terjadi setelah BPPN dibubarkan pada 2007 saat Menteri Keuangan saat itu melalui PT PPA menjual hak tagih atas aset BDNI senilai Rp 4,8 triliun.
"Jadi kerugian karena penjualan aset tersebut bukan saat SAT menjadi Ketua BPPN, melainkan Menteri Keuangan saat itu. Saat itu, SAT bukan lagi siapa-siapa," kata Jamin Ginting, penasehat SAT lainnya.
Baca Di berikut nya http://www.tribunnews.com/nasional/2018/09/23/penasihat-hukum-sat-kutip-filosofi-sam-ratulangi
No comments:
Post a Comment