TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi untuk Hapus Hukuman Mati (HATI) akan memperingati Hari Anti-Hukuman Mati, yang setiap tahun dikampanyekan pada 10 Oktober. Peringatan ini digaungkan penegak hak asasi manusia dan kelompok sadar advokasi seluruh dunia, yang diplokamatori World Coalition Against the Death Penalty.
HATI menaungi kelompok Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KonstraS), Imparsial, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, dan Reprieve.
Baca: Pemerintah Diminta Bentuk Tim Independen Evaluasi Hukuman Mati
Wakil Koordinator Bidang Advokasi KontraS Putri Kanesia mengatakan, dalam kampanyenya, tahun ini HATI kembali mendorong pemerintah menghapus dan meninjau ulang undang-undang tentang hukuman mati.
"Paling strategis sekarang adalah pemerintah harus melakukan penghapusan hukuman mati. Jika penghapusan hukuman mati dianggap sulit, setidaknya melakukan moratorium," katanya kepada Tempo di kantor KontraS, Jakarta Pusat, Selasa, 9 Oktober 2018.
Moratorium hukuman mati, dalam catatan HATI, pernah diterapkan pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Saat itu berlaku moratorium hukuman mati selama empat tahun.
Baca: Amnesty Desak Arab Saudi Stop Hukuman Mati Terhadap Aktivis
Untuk mengawal proses evaluasi, HATI juga meminta pemerintah membentuk lembaga independen. Lembaga ini dinilai perlu ada untuk bertugas meninjau ulang putusan hukuman mati.
Dalam masa moratorium, menurut Putri, dapat dilakukan peninjauan kembali kelayakan hukuman mati yang ditanggung terpidana atau paling tidak mengevaluasi putusan. Ia mengatakan banyak cacat hukum dalam pemutusan hukuman mati. Pemerintah dinilai tidak hati-hati memproses hukuman mati.
HATI mencontohkan sejumlah kasus. Salah satunya kasus terpidana hukuman mati perkara narkoba asal Pakistan, Zulfiqar Ali, yang ditangkap tanpa barang bukti. Ia ditahan sejak 2004 dan diduga mengalami penganiayaan oleh aparatur selama menjalani proses hukum.
Baca: Paus Fransiskus: Hukuman Mati Tidak Akan Pernah Diterima
Tim advokasi KontraS telah mengawal kasus ini dan mengupayakan grasi kepada Mahkamah Agung (MA). Namun proses itu mandek, dan MA tak mengeluarkan grasi hingga Zulfiqar Ali meninggal karena sakit pada Mei 2018. Saat ini, HATI dan keluarga Zulfiqar Ali menuntut pemerintah melakukan upaya rehabilitasi untuk mengembalikan nama baik korban dan keluarga korban.
Kasus cacat hukum juga dialami Yusman Telaumanua. Ia merupakan mantan terpidana hukuman mati asal Nias. Yusman dituding membunuh. Padahal, menurut penelusuran pendamping hukum, ia hanya saksi. Yusman juga dipaksa menandatangani berita acara pemeriksaan, yang tak ia pahami isinya. Sebab, Yusman tak bisa baca-tulis dan tak mampu berbahasa Indonesia dengan lancar. Saat itu, ia juga tidak didampingi penerjemah.
Selain mendorong penghapusan hukuman mati dan evaluasi putusan, HATI mendorong pemerintah memperhatikan situasi dan kondisi lembaga pemasyarakatan di tempat terpidana yang telah divonis hukuman mati. "Termasuk memberikan dukungan medis dan psikologis," ucap Putri.
Baca: Mantan Hakim MK: Tidak Ada Tempat untuk Hukuman Mati di Indonesia
Baca Di berikut nya https://nasional.tempo.co/read/1134622/hari-anti-hukuman-mati-hati-pemerintah-masih-cacat-hukum
No comments:
Post a Comment