GEGAP-gempitanya upaya penegakan hukum di negeri kita saat ini tampaknya belum mampu menghapus kesan bahwa sementara hukum memenjarakan pelanggar hukum, ternyata hukum itu sendiri pun masih terpenjara dalam belenggu interpretasi tekstual-normatif yang mengabaikan aspek keseimbangan keadilan.
Berbicara mengenai hukum, kita sebetulnya berbicara tentang norma hukum yang seharusnya tidak sekadar menyentuh aspek pemenuhan unsur kepastian hukum secara tekstual-normatif tetapi interaksinya dengan berbagai norma lainnya demi menciptakan keseimbangan keadilan.
Norma hukum mestinya bisa diseimbangkan dengan norma-norma lain dalam masyarakat yang berinteraksi dengannya, dimana hukum harus mampu mewujudkan rasa keadilan dan keseimbangan dengan norma-norma budaya, etika, moral, dan norma-norma agama seperti tercermin dalam cita hukum negara kita yaitu Pancasila.
Sejatinya, kita berhukum itu bukan untuk mencari-cari kesalahan, tetapi untuk memunculkan dan membudayakan kebenaran yang dapat menghasilkan rasa keadilan dan keseimbangan keadilan itu. Sebab tujuan hakiki daripada hukum adalah untuk menciptakan kebahagiaan, kedamaian, kesejahteraan, dan kemanfaatan bagi manusia, bukan untuk melanggengkan kesengsaraan.
Ketika amar putusan Pengadilan dimulai dengan frasa Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka putusan Pengadilan tak boleh memperkosa rasa keadilan dan martabat manusia sebagaimana makna yang tersurat dan tersirat dalam cita hukum itu.
Maka ketika penegak hukum hanya menggunakan keyakinan subyektif serta logika sempitnya bahwa suatu putusan dianggap memenuhi syarat secara tekstual-yuridis karena unsur-unsur penjeratan dan pemberatannya telah terpenuhi, maka penegak hukum hanya akan memunculkan diri sebagai “tukang hukum” tetapi bukan pencipta keadilan.
“Tukang hukum” akan cenderung menemui jalan buntu dalam mencari keadilan, karena barometer yang digunakan hanyalah satu bagian kecil dari norma-norma yang mengatur eksistensi manusia secara holistik.
Selama kita terjerembab dan terpenjara dalam paradigma legal-formal yang sempit itu, maka selama itu pula rasa keadilan akan sulit dicapai, apalagi keseimbangan keadilan dalam masyarakat yang demokratis dan pluralis ini!
Sudah tiba saatnya untuk kita berhijrah, melakukan suatu pergeseran: perubahan mindset, pergeseran paradigma, bahwa kita tidak lagi bicara hukum hanya sekadar normatif, tidak hanya sekadar hukum yang tertulis. Karena hukum yang tertulis, yang umumnya cacad sejak lahir itu, sering dinodai pula oleh tarik-menarik kepentingan.
Pergeseran yang saya maksudkan adalah membebaskan diri dari penjara paradigma tekstual-normatif lalu berhijrah ke paradigma berhukum secara holistik, secara legal-pluralistis sebab tuntutan masyarakat yang demokratis ini memang mengharuskan adanya pergeseran paradigma seperti itu.
Dalam berhukum secara holistik, kita tak bisa melepaskan diri dari nilai-nilai atau sistem nilai. Dan sistem nilai tertinggi di negara kita mencakup nilai-nilai spiritual, kemanusiaan, dan keadilan sosial.
Karena itu maka hukum harus mampu melihat ke segala arah, sebab ketidakmampuan untuk menyeimbangkan norma hukum dengan berbagai norma lain dalam masyarakat akan melahirkan disonansi, bahkan distorsi atau kerancuan dan keracunan pola pikir dalam menginterpretasikan hukum.
Akibat selanjutnya adalah hukum dijalankan secara subyektif-legalistis, tanpa pertimbangan rasa, tanpa pertimbangan kemanusiaan, tanpa hati nurani, dan tanpa mempedulikan akibat-akibat dari putusan-putusan hukum.
Sebelumnya
1 / 3
No comments:
Post a Comment