JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Mike Verawati menyebut, proses hukum di Indonesia masih belum mampu melihat aspek relasi kuasa.
Hal itu, tercermin dari proses hukum kasus pelecehan seksual Baiq Nuril.
Pada kasus Baiq Nuril, aspek relasi kuasa tercermin dari status dia sebagai pegawai tata usaha honorer SMA 7 Mataram, NTB, sedangkan terduga pelaku merupakan seorang kepala sekolah di SMA tersebut.
Akibat tidak memperhatikan aspek relasi kuasa, Nuril yang merupakan korban pelecehan justru dikriminalisasi dengan dijerat menggunakan Undang-Undang ITE.
Baca juga: 6 Tuntutan Koalisi Perempuan untuk Kasus Baiq Nuril
"Memang kasus Ibu Baiq Nuril ini yang memang paling kelihatan betapa hukum kita itu masih tidak melihat relasi kuasa, ini justru mengorbankan atau mengkrimninalisasikan korban," dalam sebuah diskusi publik di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (24/11/2018).
Selain kasus Baiq Nuril, Mike mengatakan, ada banyak kasus serupa yang juga tidak memperhatikan aspek relasi kuasa.
Akibatnya, muncul pandangan bahwa jika seseorang menempuh proses peradilan berhadapan dengan pihak yang punya kekuasaan yang lebih, maka tidak akan pernah tercapai sebuah keadilan.
Jika hal ini berlangsung secara terus-menerus, akan muncul persepsi bahwa keadilan tidak pernah tercipta dalam masyarakat.
"Relasi kuasa ini menguatkan bahwa sekuat apapun kita melakukan proses-proses keadilan, ketika yang kita hadapi adalah orang yang punya relasi kuasa, itu tidak akan pernah mencapai keadilan," ujar Mike.
"Sedihnya, ketika ini diteruskan, tentunya akan muncul paradigma di dalam masyarakat bahwa pencapaian keadilan di dalam masyarakat itu tidak akan pernah ada," sambung dia.
Oleh karenanya, Mike melanjutkan, penting untuk memberikan keadilan bagi kasus yang menimpa Nuril.
Harapannya, dari proses hukum yang adil itu, ke depannya akan lahir keadilan-keadilan dalam kasus serupa.
"Ini yang perlu kita dukung, bahwa ketika kasus Baiq Nuril ini tidak kita lihat sebagai kasus yang sebenarnya adalah kekerasan seksual, di sinilah kegagalan untuk mengedepankan itu sendiri," katanya.
Baiq Nuril merupakan mantan pegawai honorer bagian tata usaha SMU 7 Mataram, NTB.
Pengadilan Negeri Kota Mataram memvonis Nuril tidak bersalah atas kasus penyebaran rekaman telepon kepala sekolahnya yang bermuatan asusila.
Jaksa penuntut umum kemudian mengajukan kasasi ke MA. Rupanya, MA memvonis sebaliknya, yakni memvonisnya bersalah dengan hukuman kurungan selama enam bulan dan denda Rp 500 juta.
Baca Di berikut nya https://nasional.kompas.com/read/2018/11/25/07091671/bercermin-dari-kasus-baiq-nuril-sistem-hukum-di-indonesia-belum-perhatikan
No comments:
Post a Comment