Pasalnya, realokasi yang dilakukan BUMD tersebut ternyata tidak memiliki aturan atau dasar hukum. Hal itu diketahui setelah Direktur Utama PT Jakarta Propertindo (Jakpro) Dwi Wahyu Daryoto menuturkan ada PMD mengendap milik Jakpro yang telah direalokasi untuk proyek lain tanpa ada persetujuan dari DPRD DKI.
"Berdasarkan keterangan Jakpro tadi, kita periksa ternyata di Jakpro ada realokasi tanpa ada regulasi," kata Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Triwisaksana di Gedung DPRD DKI, Kamis (15/11).
PMD sebesar Rp650 miliar tersebut awalnya diberikan kepada Jakpro untuk mengakusisi saham PT Astratel Nusantara di PT Palyja sebesar 49 persen. Namun, akusisi itu tak jadi dilakukan Jakpro. Padahal, dana untuk akusisi telah masuk ke rekening Jakpro.
Terkait hal tersebut, Dirut Jakpro mengklaim pihaknya sempat meminta pendapat hukum dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta soal pembatalan akuisisi tersebut.
Berdasarkan pendapat hukum tertanggal 3 Oktober 2014, Kejati DKI menyetujui pembatalan akuisisi Palyja oleh Jakpro.
Kejati juga menyatakan jika dana Rp650 miliar akan digunakan untuk kegiatan lain, harus melalui persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) cq Pemerintah Provinsi DKI Jakarta cq Gubernur DKI Jakarta. Atas dasar itu, pada 2015 silam, Jakpro kemudian melakukan RUPS dan memutuskan dana Rp650 miliar itu direalokasi untuk kegiatan lain.
Ada sejumlah kegiatan yang akhirnya dilakukan menggunakan dana tersebut. Beberapa di antaranya adalah pembangunan pembangkit tenaga listrik (power plant) di Marunda, Jakarta Utara yang berkapasitas 650 megawatt. Selain itu, ada pembelian saham di PT Food Station Tjipinang Jaya dan pembelian saham PT Cinere Serpong Jaya di ruas Serpong-Cinere.
Kemudian digunakan juga untuk tambahan investasi penyertaan modal perusahaan (PMP) di PT Jakarta Tollroad Development, tambahan investasi penyertaan modal di PT Jakarta Akses Tol Priok, pengembangan kawasan berorientasi transit LRT, pembangunan fasilitas pengelolaan sampah terpadu (intermediate treatment facility), serta pengadaan lahan.
Jakpro kemudian kembali menggelar RUPS pada 2017 silam, dan diputuskan realokasi PMD sebesar Rp650 miliar itu baru bisa digunakan setelah ada regulasi yang mengatur soal realokasi PMD.
Dwi selaku Dirut Jakpro pun mempertanyakan keputusan RUPS Jakpro sebelumnya, sebab sempat menyetujui realokasi anggaran. Namun dalam RUPS selanjutnya justru membatalkan realokasi tersebut.
"Pertanyaan saya sebagai penyambung yang sebelumnya, regulasi yang mengatur realokasi PMD-nya mana?" ujar Dwi.
Saat ditanya apakah dana Rp650 miliar masih tersimpan di rekening Jakpro atau sudah direalokasikan seluruhnya, Dwi menerangkan ada sebagian yang sudah direalokasi. Atas dasar itu, sambung Dwi, jika PMD mengendap sebesar Rp650 miliar memang harus dikembalikan ke kas daerah, pihaknya akan mengambilnya dari kas operasional Jakpro.
"Sebetulnya sudah tercampur, jadi sebetulnya kalau berproses dan diminta mengembalikan Rp650 miliar, itu dari kas operasional kita," tuturnya.
Berdasarkan penjelasan Dwi tersbut, anggota Banggar DPRD DKI memutuskan untuk menyelidiki PMD mengendap di 10 BUMD yang belum menyerap PMD sepenuhnya.
"Kasus ini perlu di blow up, bukan hanya yang di Jakpro, tapi juga PMD lain yang belum terserap, perlu dibentuk pansus. Atas kasus ini saya saran realokasi dimoratorium dulu sebelum pansus bekerja maksimal, kalau ada pelanggaran bisa dilaporkan ke penegak hukum," tutur Ketua Komisi C DPRD DKI Santoso.
Hal senada juga disampaikan Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Mohamad Taufik agar dibentuk pansus untuk melakukan penyelidikan atas PMD mengendap di 10 BUMD.
"Saya kira rekomendasikan saja pansus, enggak sulit lah. Siapa yang terlibat, kita laporkan, kan ini pelanggaran terhadap Perda ini," kata Taufik.
(dis/kid) Baca Di berikut nya https://www.cnnindonesia.com/nasional/20181115214457-20-346968/dprd-dki-bentuk-pansus-selidik-relokasi-pmd-tanpa-dasar-hukum
No comments:
Post a Comment