Lihatlah, pada 2013 silam, jumlah perkara hukum sektor pertambangan mencapai 403 kasus dengan jumlah tersangka 546 orang. Kemudian, pada 2014 lalu, jumlahnya menciut menjadi 317 perkara dengan jumlah tersangka 317 orang.
Setahun berikutnya, jumlah perkara hukum kembali merosot menjadi hanya 173 kasus dengan tersangka sebanyak 203 orang, dan 2016 lalu perkaranya sempat menanjak jadi 251 kasus dengan tersangka sebanyak 325 orang.
"Namun, perkara tahun lalu kembali turun. Artinya, ada perbaikan administrasi yang bagus," ujarnya dalam Diskusi Publik Pengawalan Sektor Tambang, Kamis (22/2).
Soalnya, sebagian besar pelanggaran yang dilakukan memang terkait dengan legislasi. Ambil contoh, perizinan yang tidak lengkap atau pun perizinan yang tumpang tindih.
"Perizinan yang seringkali dilaporkan ke Polri adalah tumpang tindih dan kesalahan prosedur dalam penerbitan izin," terang Eko.
Misalnya, ia melanjutkan, pemilik modal memberikan suap dalam pemberian izin kepada pengelola agar mendapatkan kemudahan prosedur. Setelah itu, pelaku mengeksploitasi barang tambang. Nah, dalam eksploitasi tersebut, pelaku memiliki dukungan dari oknum pejabat.
Selain itu, ada permasalahan hukum terkait investasi dan permodalan, seperti penipuan dan permainan dalam pengelolaan modal dan operasional usaha. Tidak hanya itu, konflik antara pemilik usaha tambang dengan warga sekitar juga bisa menjadi perkara.
Dalam melakukan upaya penegakan hukum, aparat kerap mendapat hambatan. Di antaranya berasal dari lokasi pengelolaan sumber daya alam, terutama tambang yang tidak berizin berada di area terpencil.
Kemudian, kebanyakan pengelolaan SDA tanpa izin adalah Polri harus berhadapan dengan masyarakat. Selain itu, evakuasi alat berat dan pengumpulan barang bukti, seperti mesin yang menyulitkan.
Karenanya, sebelum tindakan pelanggaran terjadi, aparat berupaya melakukan tindakan pencegahan. Eko mengungkapkan, aparat kepolisian memiliki tiga langkah antara lain, preventif dan represif.
Tindakan preemtif berupa imbauan kepada masyarakat terkait pentingnya menjaga investasi dan mencegah anarkisme, melakukan pembaruan tanda batas kawasan, terutama kawasan hutan, serta melakukan komunikasi dan koordinasi dengan kementerian terkait.
Tindakan preventif berupa kegiatan patroli, razia, maupun penjagaan.Setelah itu baru tindakan represif berupa penindakan terhadap pelaku pengelolaan sumber daya alam yang melanggar ketentuan baik penambang, penyuplai BBM, dan pengepul.
Kepala Bagian Hukum Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM Heriyanto mengungkapkan, pihaknya terus melakukan upaya penataan dan pengawasan terhadap aktivitas pertambangan di Indonesia.
Misalnya, dalam hal mempermudah perizinan melalui deregulasi dan sistem online, serta pengawasan menggunakan teknologi yang semakin canggih, seperti satelit.
Selanjutnya, Kementerian ESDM juga melakukan penataan Izin Usaha Pertambangan (IUP) di mana perusahaan tambang yang dapat beroperasi adalah yang berstatus clean and clear (CnC).
Heriyanto mengungkapkan, hingga akhir tahun lalu terdapat 8.280 izin usaha pertambangan (IUP) yang diterbitkan. Namun, sebanyak 2.155 IUP di antaranya berstatus non CNC.
"ESDM menjalin kerja sama dengan instansi lain seperti Bea Cukai, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Hukum dan HAM untuk membatasi dan tidak memberikan pelayanan bagi perusahaan non CNC," ujar Heriyanto. (bir)
Baca Di berikut nya https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20180222172759-85-278120/polri-catat-240-kasus-hukum-di-sektor-pertambangan
No comments:
Post a Comment