KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu lalu menyentak publik dengan mengatakan sejumlah calon kepala daerah yang mengikuti gelaran Pilkada Serentak 2018 berpotensi ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi setelah memenuhi syarat dua alat bukti. Hal ini tentu saja bisa mengubah peta perpolitikan Indonesia karena sosok-sosok berpengaruh di daerah tersebut terhambat proses hukum oleh lembaga antirasuah.
Sepanjang 2018 saja KPK setidaknya menindak enam pejabat daerah dalam operasi tangap tangan (OTT). Pejabat pertama adalah Bupati Hulu Sungai Tengah Abdul Latif. Ia dicokok setelah diduga menerima suap sebesar Rp1 miliar. Uang terebut berkaitan dengan pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) H Damanhuri Barabai, Kalimantan Selatan.
Kedua, Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko. Pejabat yang berasal Partai Golkar itu ditangkap setelah terlibat kasus dugaan suap perizinan dan pengurusan jabatan di wilayah pemerintahannya.
(Baca: Minta KPK Tunda Penetapan Tersangka Calon Kepala Daerah, Wiranto: Tujuan Kita Baik Kok)
Ketiga, KPK menangkap Bupati Ngada, Nusa Tenggara Timur, Marianus Sae. Dia diduga melakukan korupsi untuk maju di Pilkada 2018 karena ongkos untuk maju menjadi pejabat daerah kini dinilai cukup mahal.
Keempat, Bupati Subang Imas Aryumningsih ditangkap tangan KPK di rumah dinasnya. Politikus Golkar tersebut diduga menerima suap terkait pengurusan perizinan di Subang, Jawa Barat. Imas sendiri terdaftar di KPUD sebagai calon petahana yang akan maju di Pilbup Subang didampingi Sutarno sebagai wakilnya. Pasangan ini sudah mendapatkan nomor urut 2 dan diusung koalisi Golkar serta PKB.
Kelima, Bupati Lampung Tengah Mustafa yang ditangkap tangan KPK karena diduga terlibat kasus dugaan suap pemulusan persetujuan pinjaman daerah APBD Lampung Tengah Tahun Anggaran 2018. Ia diduga menyuap pimpinan DPRD Lampung Tengah untuk mendapat persetujuan pinjaman dari PT SMI sebesar Rp300 miliar. Uang tersebut rencananya digunakan untuk pembangunan proyek infrastruktur di sana.
Keenam, Wali Kota Kendari Adriatma Dwi Putra dan calon Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Asrun yang merupakan sang ayah. Keduanya ditangkap tangan KPK karena terjerat kasus dugaan suap pengadaan barang dan jasa di Kendari.
(Baca: ICW Minta Pemerintah Tak Campuri KPK Umumkan Calon Kepala Daerah Bermasalah)
Terkait penetapan tersangka peserta pilkada ini ternyata mendapat penolakan dari Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto. Ia meminta KPK menunda proses hukum terhadap kepala daerah yang diduga terindikasi korupsi. Alasannya, dia menilai tindakan dapat berpengaruh di dalam jalannya pilkada.
Wiranto melanjutkan, bilamana paslon tersebut sudah ditetapkan sebagai peserta pilkada serentak, lebih baik ditunda dulu, baik penyelidikan, penyidikan, pengajuan saksi, atau penetapan tersangkanya. Sebab, khawatir berpengaruh dalam pelaksanaan pemilu.
"Sudah ada koordinasi dengan KPU dan Jaksa Agung, saya juga. Tentang adanya satu permasalahan di mana KPK sudah mengumumkan nama calon tersangka dari peserta pilkada serentak," jelasnya di Kantor Kemenko Polhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin 12 Maret 2018.
Meski begitu, Wiranto mengungkapkan belum bisa memastikan sampai kapan pihak penyelenggara pemilu meminta proses hukum tersebut ditunda. Tetapi, dirinya menyatakan sudah membicarakan permintaan tersebut ke KPK.
"Mendagri sudah bicara dengan KPK. Dari penyelenggara juga sudah bicara dengan KPK masalah-masalah seperti ini. Tapi, jangan sampai ada langkah-langkah tertentu yang pelaksanaan pemilu," tuturnya.
Sebelumnya
1 / 3
No comments:
Post a Comment