Hal itu disampaikan peneliti Divisi Korupsi Politik ICW, Almas Sjafrina, penegakkan hukum pada musim kampanye pemilihan kepala daerah 2018 lebih sering menciptakan kegaduhan ketimbang ketertiban. Ia mencontohkan pada jelang Pemilihan Gubernur di Maluku.
"Pola penegakkan hukum tindak pidana korupsi yang dilakukan Ditreskrimsus Kepolisian Daerah (Polda) Maluku belakangan ini dinilai acap menyalahgunakan kewenangan sehingga berpotensi merusak sistem hukum," kata Almas di Jakarta, Rabu (9/5).
Dengan kata lain, lanjutnya, tindakan Polda Maluku tidak lagi sesuai sebagaimana mestinya dalam proses penyelidikan dan penyidikan. Aparat penegak hukum di Polda Maluku tidak boleh menyelidiki suatu perkara tanpa adanya temuan kerugian negara oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Polisi tidak berwenang menentukan ada tidaknya kerugian keuangan negara. Karena itu merupakan kewenangan BPK.
"Karena itu, tindakan penyitaan dokumen, penggeledahan serta berbagai tindakan lainnya dalam sebuah kegiatan ”penyelidikan” Ditreskrimsus Polda Maluku, semisal di Sekretariat Pemerintah Daerah Buru tidak tepat dan berpotensi melawan hukum. Terlebih tindakan tersebut dilakukan tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri/Tipikor di Ambon," ucapnya.
Menanggapi tindakan Polda Maluku itu, Almas mengatakan, pada dasarnya Kepolisian RI (Polri) memang harus independen. "Kalau soal independen ya harus independen. Sama seperti pihak yang lainnya, militer, birokrat, dan lain-lain," tuturnya.
Jika partai tidak dibenahi, maka masalah korupsi calon kepala daerah akan terus berulang. Bahkan, dalam dua bulan terakhir telah ada delapan calon kepala daerah yang tertangkap karena kasus korupsi. Dan empat di antaranya merupakan calon petahana yang masih aktif.
Reporter: Ervan Bayu
Editor: Hendri Firzani
Baca Di berikut nya https://www.gatra.com/rubrik/nasional/321765-icw-politisasi-hukum-di-era-pilkada-berdampak-serius-terhadap-demokrasi
No comments:
Post a Comment