BERITA TERKAIT
RKUHP yang telah dibahas oleh Pemerintah dan DPR sejak tahun 2015 direncanakan akan segera disahkan di Agustus 2018 mendatang. Hingga rapat terakhir pada 30 Mei 2018 lalu, masih terdapat beberapa pasal yang masuk dalam pending issue yang harus dibahas kembali, termasuk di dalamnya pasal yang berkaitan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Untuk itu, terkait persoalan hukum yang hidup di masyarakat, Direktur Eksekutif ICJR Anggara Suwahju berpendapat, pemerintah masih menggunakan istilah hukum yang hidup dalam masyarakat yang multitafsir. Ia berharap ketegasan penyebutan hukum adat dapat dilakukan. “Sehingga terdapat legitimasi yang jelas bahwa perbuatan yang dilarang ialah perbuatan yang memang masuk kualifikasi perbuatan yang dilarang hukum adat, dan tidak kabur,” kata Anggara kepada Hukumonline.
Pengaturan mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat dimuat dalam Buku I, tepatnya pada Pasal 2 RKUHP versi 28 Mei 2018. Pasal itu berbunyi, “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang‑undangan.”
Pasal itu berarti, lanjut Anggara, berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, UUD 1945, hak asasi manusia, dan asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab.
Sedangkan dalam penjelasan RKUHP, disampaikan bahwa ketentuan pada Pasal 2 berkaitan dengan hukum yang masih berlaku dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia atau yang dikenal dengan hukum pidana adat. Sepengetahuan Anggara, keberlakuan hukum pidana adat ini nantinya akan dikompilasi dalam bentuk Peraturan Presiden. Pada pembahasan rapat 30 Mei 2018 pemerintah menyebutkan bahwa ketentuan berkaitan dengan delik adat sendiri akan dimuat di dalam Peraturan Daerah baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota.
Atas dasar itu, ia mengusulkan agar penyerahan pengaturan hukum pidana ke masing-masing daerah berarti menganulir tujuan kodifikasi dalam RKUHP yaitu adanya unifikasi hukum. Nantinya masing-masing daerah akan memiliki KUHP-nya sendiri. Indonesia saat ini memiliki 34 provinsi dan 514 kabupaten/kota.
Sehingga, lanjutnya, jika ketentuan mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat akan dimuat di dalam peraturan daerah, maka kurang lebih akan ada 548 peraturan daerah baru yang akan dikeluarkan atau dalam kalimat yang lain Indonesia akan memiliki 548 KUHP lokal (Peraturan daerah) di samping KUHP Nasional.
Baca:
Selain itu, Anggara mengatakan jika kewenangan untuk memberikan penetapan terhadap perkara-perkara delik adat nantinya diberikan kepada Pengadilan Negeri, maka beban penanganan perkara hakim akan semakin meningkat.
Padahal, ia menjelaskan berdasarkan Laporan Tahunan MA 2017 saja pada tingkat pertama, jumlah hakim peradilan umum yang tersedia adalah sebesar 3.040, dengan jumlah perkara 4.877.659 perkara pidana. Sehingga, rata-rata beban penanganan perkara pidana untuk setiap hakim adalah 4.813 perkara. Dapat dipastikan, dengan adanya ketentuan mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat, beban perkara pidana yang harus ditangani oleh Pengadilan akan terus meningkat.
Selain itu, Anggara mengatakan, RKUHP membuka peluang polisi dan jaksa mencampuri masalah adat. RKUHP pada dasarnya memasukkan pengaturan yang tidak jelas mengenai pidana yang hidup dalam masyarakat. Pasal 679 ayat (1) RKUHP menyebutkan bahwa “setiap orang yang melakukan perbuatan yang menurut hukum yang hidup dalam masyarakat dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dicancam dengan pidana.”
“Meskipun pidana yang dimaksud berupa pemenuhan kewajiban adat, masuknya delik yang tidak memiliki pengaturan jelas perbuatan apa saja yang dilarang ini berarti membuka peluang aparat penegak hukum seperti Polisi dan Jaksa turut serta mencampuri masalah adat,” jelasnya.
Selain itu, kata dia, pengakuan terhadap hukum adat masih menjadi masalah sendiri dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Sehingga, pengaturannya tidak bisa sesederhana menyerahkan seluruh pengaturan ke masing-masing daerah. Persoalan pidana adat harus diatur sengan peraturan sendiri.
Oleh sebab itu, Ia meminta agar DPR dan Pemerintah, untuk menghapus ketentuan terkait dengan hukum yang hidup dalam masyarakat atau setidak-tidaknya mengubah rumusan Pasal 2. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum adat dalam masyarakat adat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Ia juga meminta agar hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam UU ini dan hanya untuk perbuatan yang diancam dengan pidana maksimal 3 bulan penjara. “Dan, Ketentuan tentang pelaksanaan hukum adat dan tata cara pemeriksaan pelanggaran hukum adat diatur dalam UU tersendiri,” katanya.
“Dan agar tidak adanya pelibatan aparat negara dalam penegakan hukum adat dan sepenuhnya menyerahkan persoalan hukum adat pada masyarakat adat. Serta, mengatur pembatasan perbuatan apa saja yang bisa dikategorikan sebagai pidana adat dan pemerintah harus mampu mengidentifikasi perbuatan apa saja yang benar-benar merupakan pidana adat,” tandasnya.
Sebelumnya, Kepala BPHN Prof Enny Nurbaningsih mengakui terdapat beberapa pending issue yang harus dibahas lebih cermat. Salah satunya menyangkut isu hukum yang hidup dalam masyarakat. Pemerintah ingin menegaskan bahwa persoalan hukum yang hidup di dalam masyarakat bukanlah hal baru.
“Tapi bagaimana kemudian kepastian hukumnya? Soal tidak terjadi transaksional dalam penegakan hukumnya? Ini harus kita sepakati Bersama,” pungkasnya. (Baca: Kepala BPHN Prof Enny Nurbaningsih: Menyoal Delik-Delik Kontroversial dalam RKUHP)
Baca Di berikut nya http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5b1b86b48b761/aturan-hukum-adat-dalam-rkuhp-dinilai-masih-kabur
No comments:
Post a Comment