REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemilihan Kepala Daerah 2018 serentak baru saja usai. Banyak daerah sudah memiliki gubernur, bupati, hingga wali kota baru. Hiruk- pikuk politik ini akan berlanjut pada 2019 ketika negeri ini akan menjalankan pemilu legislatif dan pemilu presiden.
Proses demokrasi di negeri ini bukan tidak berbayar. Ongkos harus dikeluarkan baik dengan jalur formal ataupun dari bawah tangan. Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) mencatat, anggaran yang dikeluarkan dalam pilkada kabupaten berkisar Rp 5 miliar-Rp 28 miliar sementara pilkada provinsi mencapai kisaran Rp 60 miliar-Rp 78 miliar.
Besaran nilai tersebut tidak sebanding dengan pendapatan resmi yang akan diterima gubernur yang akan memperoleh gaji senilai Rp 8,6 juta atau Rp 516 juta selama lima tahun menjabat.Artinya, hal tersebut dapat memicu korupsi dan koalisi (dalam artian permufakatan jahat) menjadi cara untuk mengeruk pundi- pundi kesejahteraan rakyat.
Ijtima Alim Ulama Majelis Ulama Indonesia (MUI) 2018 ikut membahas fenomena ini. Para ulama fikih mencoba menjawab ketentuan hukum meminta imbalan kepada seseorang yang akan diusung sebagai kepala daerah, kepala pemerintahan, anggota legislatif, hingga jabatan publik lainnya.Ulama juga membahas hukum pemberian imbalan tersebut dan status hukum imbalan yang sudah diterima.
Para ulama berpandangan transaksi antara kontestan pemilu dengan partai politik sudah terlalu sering sehingga dianggap permisif. Hal tersebut dinilai sebagai bentuk kebiasaan dalam berpolitik.
Padahal, hukum positif yang termaktub dalam UU No 1/2015 mengatur bahwa, Partai politik atau gabungan partai politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apa pun pada proses pencalonan gubernur, bupati, dan wali kota. Demikian pula sebaliknya, Setiap orang atau lembaga dilarang memberi imbalan kepada partai politik atau gabungan partai politik da lam bentuk apa pun dalam proses pencalonan gubernur, bupati, dan wali kota.
Untuk lebih menegaskan hukum terhadap mahar politik tersebut, Ijtima Ulama pun menyusun fatwa mengenai hukum pemberi dukungan yang menerima imbalan dari orang yang didukungnya.
Hukum dasar korupsi di dalam Islam adalah haram. Alquran dengan tegas melarang kita untuk memakan harta dengan jalan yang batil. Dan janganlah (sebagian) memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan batil dan (jangan-lah) kamu membawa (urusan)harta itu kepada hakim. Supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa.Padahal kamu mengetahui,(QS al-Baqarah 188).
Allah SWT pun memberi penegasan terhadap larangan dalam korupsi....Barang siapa yang berkhianat dalam urusan harta rampasan perang, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu..(QS Ali Imran: 161).
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjelaskan, korupsi atau suap sebagai risywah.Pemberian yang diberikan seseorang kepada orang lain (pejabat) dengan maksud meluluskan suatu perbuatan yang batil (tidak benar menurut syariah) atau membatilkan perbuatan yang hak.
Pemberinya disebut rasyi, sedangkan penerimanya disebut murtasy. Penghubung antara rasyi dan murtasyi disebut ra'isy. MUI pun memberi fatwa bahwa hukum dasar korupsi adalah haram.
Ulama mengqiyaskan dalam salah satu hadis riwayat Imam Bukhari. Rasulullah SAW pernah mengangkat seorang petugas penarik zakat. Setelah menyelesaikan tugasnya, petugas itu melapor kepada Rasulullah SAW.
Wahai Rasulullah ini buat baginda dan ini dihadiahkan untuk saya. Lalu Rasul SAW berkata kepadanya: Tidakkah (sebaiknya) engkau duduk saja di rumah ayah ibumu lalu engkau tunggu apakah engkau diberi hadiah atau tidak. Lalu Rasulullah menyam- paikan khutbah malam hari setelah shalat.
Beliau mengucapkan syahadat, memuji Allah dengan pujian yang layak bagi-Nya lalu beliau bersabda: Bagaimana perilaku seorang karyawan yang kami angkat lalu dia datang padaku kemudian dia mengucapkan: `Ini dari pekerjaanmu dan ini dihadiahkan buatku.Tidakkah dia duduk (saja) di rumah ayah ibunya lalu dia tunggu apakah dia diberi hadiah atau tidak. Demi jiwa Muhammad yang ada di dalam genggaman-Nya, tidaklah seorang melakukan korupsi kecuali pasti dia akan datang pada hari kiamat sambil mengalungkan barang yang ia korupsi di lehernya. Jika yang dikorupsi unta, ia akan membawa suara lenguhannya dan jika yang ia korupsi kambing pada hari kiamat ia akan membawa embikannya. (HR Ahmad).
Nabi SAW pun mengajarkan kepada kita untuk memilih pejabat yang cakap sesuai dengan keahliannya. Abi Dzar al Ghifari pernah bertanya kepada Rasulullah SAW karena tidak ditunjuk sebagai pejabat. Nabi SAW berkata sambil memukul pinggul sahabat yang terkenal akan kesalehannya tersebut.
Wahai Abi Dzar, engkau orang yang lemah. Sesungguhnya (jabatan) itu adalah amanah dan ia di hari kiamat akan melahirkan kerugian dan penyesalan kecuali orang yang mengemban sesuai kompetensinya dan menunaikan amanah tersebut secara baik.
(HR Muslim).
Dalam hadis lainnya, Nabi SAW pun melarang kepada kita untuk meminta jabatan. Wahai Abdurrahman, janganlah engkau meminta jabatan pemerintahan sebab apabila engkau diberi jabatan itu karena engkau memintanya maka jabatan tersebut sepenuhnya dibebankan kepa damu. Namun, apabila jabatan tersebut diberikan bukan karena permintaanmu, engkau akan dibantu dalam melaksanakannya(HR Bukhori dan Muslim).
Atas dasar tersebut, Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VI Tahun 2018 memutuskan ketentuan hukum masalah tersebut. Suatu permintaan dan atau pemberian imbalan dalam bentuk apa pun terhadap proses pencalonan seseorang sebagai pejabat publik.
Padahal diketahui hal itu memang menjadi tugas, tanggung jawab, kekuasaan dan kewenangannya, hukumnya haram karena termasuk kategori risywah (suap)atau pembuka jalan risywah.
Permintaan imbalan kepada seseorang yang akan diusung dan/atau dipilih sebagai calon anggota legislatif, anggota lembaga negara, kepala pemerintahan, kepala daerah, dan jabatan publik lain. Pada hal, diketahui memang menjadi tugas dan tanggung jawabnya maka dihukumi haram.
Pemberian imbalan kepada seseorang yang akan mengusung sebagai calon anggota legislatif, anggota lembaga negara, kepala pemerintahan, kepada daerah, dan jabatan publik lain, padahal diketahui memang tugas dan tang gung jawab serta kewenangannya maka hukumnya haram.Sementara, status imbalan yang sudah diberikan dalam proses pen calonan dan pemilihan jabatan tertentu itu dirampas dan digu nakan untuk kepentingan umum.
Baca Di berikut nya https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/fatwa/18/07/09/pblfmq313-hukum-mahar-politik
No comments:
Post a Comment