Pemerintah, kata Eko, melalui dana desa yang digelontorkan setiap tahun, sebenarnya memastikan terjadinya pemerataan dan memberikan kesempatan kepada desa-desa, termasuk desa adat, agar bisa berkembang dan menentukan pembangunan ekonominya masing-masing. Namun hal itu terkendala oleh kepastian hukum.
"Sebagaimana kita ketahui, banyak daerah adat atau desa adat yang masih masuk daerah tertinggal dan menjadi kantong-kantong kemiskinan di negara ini. Saat ini memang ada keterkendalaan bahwa dengan tidak adanya kepastian hukum itu, program-program itu jadi agak sulit masuk," kata Eko dalam keterangan tertulis, Kamis (19/7/2018).
Hal itu dia sampaikan saat melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Masyarakat Hukum Adat di ruang rapat Badan Legislasi DPR, gedung Nusantara I, kompleks DPR RI, Senayan, Jakarta, hari ini. Rapat dipimpin oleh Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI Toto Daryanto dan dihadiri Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sofyan Djalil.
Eko melanjutkan, tidak semua daerah adat adalah bagian dari desa adat yang definitif sehingga kemungkinan keterwakilan masyarakat adat dalam menyampaikan ide atau inspirasi masih belum bisa diakomodasi. Karena itu, ia menilai ada baiknya di dalam musyawarah desa bisa dipastikan ada keterwakilan dari masyarakat adat, sehingga dana desa bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat adat.
Ia kembali menegaskan, salah satu ketertinggalan dari masalah adat adalah terkait kepastian hukum. Padahal banyak peraturan yang telah dibuat. Berdasarkan data yang diperolehnya hingga Desember 2015, terdapat 538 perda kabupaten tentang desa dan desa adat serta sejumlah aturan lainnya. Karena itu, pemerintah secara tegas mendukung penuh adanya kepastian hukum dengan dibuatnya RUU tentang Masyarakat Hukum Adat.
"Sebetulnya, kalau dari peraturan, sudah banyak, cuma memang belum efektif karena memang belum ada kepastian hukum. Mudah-mudahan adanya Undang-Undang tentang Masyarakat Hukum Adat ini bisa memberikan kepastian hukum, sehingga program-program dari pemerintah bisa lebih efektif," pungkasnya.
Dalam rapat tersebut, diketahui ada dua poin yang telah disepakati, yakni pemerintah bersedia menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU tentang Masyarakat Hukum Adat kepada Badan Legislasi pada awal masa persidangan I tahun sidang 2018-2019 dan akan dimulai pada 16 Agustus mendatang.
Kedua, disepakati pembahasan RUU tentang Masyarakat Hukum Adat akan diselesaikan dalam tiga kali masa persidangan DPR RI dengan satu kali masa persidangan awal yang dikhususkan untuk melakukan kunjungan ke daerah. Hal itu dalam rangka mendapatkan masukan dan tanggapan dari masyarakat hukum adat.
(ega/ega)
No comments:
Post a Comment