Tuesday, September 18, 2018

Hukum, Perdamaian, dan Kesalahpahaman

Jakarta - "Kalau minta maaf saja cukup, buat apa ada polisi?"

Saya yakin, Anda pernah membaca komentar semacam itu di sela percakapan-percakapan media sosial. Biasanya terkait kasus ujaran kebencian, lalu sambil mewek-mewek si pelaku meminta maaf kepada sasaran.

Dari situ pelan-pelan muncul di pikiran saya, jangan-jangan ada kekeliruan dalam silabus pendidikan kita terkait hukum dan peraturan. Jangan-jangan lho ya.

Ada satu cerita kecil yang baru saja menimpa diri saya sendiri. Alkisah, satu media daring yang mengaku sebagai "portal finansial terbesar dan terpercaya di Indonesia" mengunggah sebuah ulasan berjudul Sering Bikin Ricuh, Ternyata Segini Gaji Buzzer Politik di Media Sosial. Di situ dibahas pekerjaan buzzer atau influencer politik, berikut penghasilan mereka.

Gombalnya, salah satu tipe yang disebut di situ adalah buzzer politik yang honornya sangat tinggi, hingga Rp 200 juta untuk satu kali unggahan viral di media sosial. Siapa yang dicontohkan oleh media tersebut? Jelas, orang ini: Iqbal Aji Daryono, alias saya sendiri hahaha!

Pertama kali membacanya, saya cuma tertawa. Isu 200 juta itu sudah beredar cukup lama. Banyak orang percaya begitu saja, terutama mereka yang sirik melihat konsistensi kegantengan saya. Padahal, mereka tidak tahu bahwa yang melontarkan fitnah itu adalah hater saya juga yang konon tinggal di Norwegia, dan belakangan ketahuan bahwa akun itu palsu belaka.

Namun, tawa saya mendadak lenyap. Gara-garanya, tampak kemudian preview judul ulasan itu, yang memajang besar-besar deretan kata: "Sebar Hoax dan Fitnah, Segini Gaji Buzzer Politik di Media Sosial". Weee ini media abal-abal ngajak ribut ini.

Saya tidak akan tersinggung kalau cuma dibilang tukang bikin ricuh, karena memang demikianlah kenyataannya. Saya pun nggak akan pusing-pusing amat disebut sebagai buzzer politik, meski sayangnya sejak dulu hingga sekarang belum pernah saya mendapatkan transferan dari kubu politik mana pun. (Tentu kalau memang Pak Djoko Santosa atau Mas Erick Thohir kepingin transfer, monggo saja, saya juga tidak kuasa menolak kebaikan mereka.)

Yang jadi alasan saya mengumpat-ngumpat adalah karena preview judul itu otomatis membingkai saya sebagai manusia yang mencari makan dengan menyebarkan fitnah dan hoaks. Itu sungguh keterlaluan dan kurang ajar.

Maka, saya diam sebentar. Tuma'ninah. Kemudian saya mengontak penulis artikel tersebut. Permintaan saya sederhana saja: hapus tulisan itu, dan buatlah permintaan maaf secara terbuka. Syukurlah media tersebut segera memenuhi kedua permintaan saya. Selesai.

Masalah kecil justru muncul kemudian dari kawan-kawan saya sendiri yang melontarkan pernyataan sekaligus pertanyaan: "Kalau minta maaf saja cukup, buat apa ada polisi?"

***

Sedikit-sedikit hukum. Sedikit-sedikit polisi. Betulkah kita tidak bosan melihat aduan-aduan resmi, yang dibalas oleh sisi seberangnya juga dengan aduan-aduan resmi? Kalau saya sih bosan, nggak tahu kalau Mas Anang.

Rasa-rasanya, orang sudah lupa bahwa hukum bukanlah satu-satunya alat untuk mencari jalan keluar. Semboyan "Indonesia adalah negara hukum" sepertinya dicekokkan mentah-mentah ke kerongkongan kita, sehingga kita mengira bahwa setiap kali ada masalah, hukumlah solusinya. Skripturalis sekali jadinya.

Di saat yang sama, pelan-pelan kita lupa bahwa masyarakat kita sejak dulu sudah punya segudang mekanisme pencari solusi. Tapi, paket-paket solusi atas problem dan konflik sosial itu tertutupi karena modernitas memperkenalkan sistem hukum, dan sistem hukum yang rapi secara teori itu dianggap berdiri di atas segala jenis solusi. Nah, di situlah saya kira awal masalahnya.

Hukum adalah alat. Alat apa? Alat untuk menegakkan keadilan, dan alat untuk memenuhi rasa keadilan. Lalu, kenapa keadilan harus ditegakkan, dan rasa keadilan harus terpenuhi? Inilah yang sering dilupakan orang. Jawabannya: agar harmoni tercipta kembali.

Dengan pemahaman seperti itu, tentu saja jika harmoni bisa tertata kembali tanpa melalui mekanisme hukum, hukum tak diperlukan lagi. Bukankah nalarnya seperti itu?

Saya menduga seharusnya memang seperti itu. Nggak tahu kalau Mas Anang, eh, para praktisi hukum. Para praktisi hukum mungkin tidak setuju dengan dugaan saya itu, karena bagaimanapun untuk mereka supremasi hukum berdiri di atas segalanya. Entahlah, biarkan mereka nanti berbicara panjang lebar di ruang mereka sendiri.

Yang jelas, ketika saya mendapatkan masalah dengan media finansial yang saya sebutkan di atas tadi, saya merasa cukup dengan mekanisme permintaan maaf. Toh, nama saya sudah direhabilitasi. Selain itu, pengakuan kecerobohan mereka sendiri pun akan menciptakan hukuman sosial tersendiri.

"Lho mereka media kaya lho! Kenapa nggak dituntut saja dengan ganti rugi imaterial sekian puluh juta, begitu?"

Ah, saya kan juga sudah kaya. Saya tidak berminat memanfaatkan kepanikan sesama orang kaya, cuma untuk menambah saldo rekening saya dengan nilai yang tak seberapa hahaha!

***

Semboyan "Indonesia adalah negara hukum" pada awalnya diniatkan agar masyarakat menaati hukum dan tidak melanggar hukum. Namun, karena semboyan itu lama-lama jatuh sebagai jargon, setiap anak sekolah yang mendengarnya dari Pak Guru mengira bahwa di negara Indonesia ini setiap masalah mau tak mau harus diselesaikan secara hukum.

Dari situ, kata "damai" pun lambat-laun menjadi hina. Kata itu cuma mengingatkan kepada selembar uang yang kita selipkan diam-diam di kantong celana Pak Polantas, saat kita dicegat karena melanggar lampu merah. Padahal, jika urusannya dengan sesama warga masyarakat, alias bukan dengan penegak hukum seperti polisi atau jaksa, sesungguhnya damai adalah prioritas. Begitu, bukan?

Jadi, apa yang kita cari sesungguhnya dalam kelangsungan hidup bermasyarakat dan bertetangga? Hukum yang tegak, atau kedamaian dan harmoni yang terjaga?

Banyak di antara kita yang tak lagi ingat bahwa pilihan kedualah jawabannya. Hasilnya, kita melupakan mekanisme-mekanisme kuno yang sejak dulu kala menghidupi spesies kita, mendudukkan kita sebagai sesama manusia, dan dengannya akan pulih juga kualitas kemanusiaan kita.

"Lalu, kalau minta maaf saja cukup, buat apa ada polisi?"

Ya, polisi tetap harus ada. Demikian pula hukum. Keduanya akan sangat dibutuhkan ketika mekanisme-mekanisme pemulihan harmoni dari tengah masyarakat sendiri ternyata gagal menemukan jalan solusi.

Selanjutnya, mari kita sambut perayaan Hari Perdamaian Sedunia, tiga hari lagi.

Iqbal Aji Daryono esais, pernah bercita-cita menjadi polisi

(mmu/mmu)

Tulisan ini adalah kiriman dari pembaca detik, isi dari tulisan di luar tanggung jawab redaksi. Ingin membuat tulisan kamu sendiri? Klik di sini sekarang!

Let's block ads! (Why?)

Baca Di berikut nya https://news.detik.com/kolom/d-4217449/hukum-perdamaian-dan-kesalahpahaman

No comments:

Post a Comment