Dalam sidang kasasi, Mahkamah Agung menyatakan Nuril bersalah karena melanggar Pasal 27 Ayat 1 juncto Pasal 45 Ayat 1 Undang Undang Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Nuril dianggap bersalah karena terbukti menyebarkan konten bermuatan pelanggaran kesusilaan pada 26 Juli 2017.
Dalam proses penyidikan, salah seorang saksi berinisial IM yang merupakan kolega Nuril, mengaku sebagai pihak yang menyebarkan rekaman telepon mesum M. Kesaksian itu tertuang dalam berita acara penyidikan (BAP).
Namun, dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri Mataram, IM mencabut kesaksiannya. Aziz Fauzi selaku kuasa hukum Nuril, menduga keputusan IM itu disebabkan penggiringan pihak jaksa penuntut umum.
"Jadi waktu itu jaksa berdiri, bertanya kepada IM sambil memegang laptop sambil melakukan gerakan sehingga yang terlihat melakukan transmisi data bukan IM, dan IM hanya iya iya saja hingga mencabut keterangannya di BAP," tutur Aziz saat ditemui di kantor LBH Pers, Kalibata, Jakarta Selatan, Jumat (16/11).
Kejanggalan lainnya yaitu tak ada bukti primer. Aziz mengatakan barang bukti berupa ponsel dan rekaman percakapan asli antara Nuril dan M tak pernah dihadirkan oleh jaksa. Sementara barang bukti yang dibawa jaksa merupakan salinan kesekian kali dari rekaman asli.
Tim kuasa hukum Nuril juga menyoroti perubahan isi rekaman terkait nama L, perempuan rekan kerja yang disebut M dalam percakapan telepon dengan Nuril, sudah hilang. Bahkan transkrip rekaman yang dihadirkan ke persidangan, menurut kuasa hukum, juga berbeda dengan bunyi rekaman itu sendiri.
"Hal itu terbukti dari keterangan saksi-saksi bahwa ada banyak yang hilang, termasuk nama L tadi," kata Aziz.
Selain itu, saksi ahli yang diajukan jaksa juga dinilai tidak memenuhi syarat.
Sementara, tim kuasa hukum Nuril membawa saksi ahli dari Kementerian Komunikasi dan Informatika yang juga anggota penyusun UU ITE. Sedangkan jaksa membawa ahli ITE dari Dinas Kominfo daerah setempat.
Kuasa Hukum Baiq Nuril, Aziz Fauzi menggelar konferensi pers di LBH Pers, Kalibata, Jakarta Selatan. (CNN Indonesia/Harvey Darian)
|
"Di undang-undang itu disebutkan yang dimaksud adalah pemerintah pusat dalam hal ini Kemenkominfo, bukan Dinas. Kemenkominfo menegaskan di sidang mereka tidak pernah mendelegasikan kewenangan menjadi ahli kepada daerah," ujar Aziz.
Butir-butir kejanggalan itulah yang menurut Aziz dan timnya mampu membebaskan Nuril dari segala tuntutan. Ia menilai majelis hakim di PN Mataram jeli menilai fakta-fakta persidangan tersebut sehingga memutuskan Nuril tak memenuhi unsur-unsur yang didakwakan yakni melakukan transmisi elektronik.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara mengatakan aksi Nuril merekam percakapan telepon tidak melanggar aturan apapun.
Anggara menduga putusan MA dalam sidang kasasi didasarkan pada unsur 'membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan' dari Pasal 27 ayat 1 UU ITE.
"Saya kira MA melihat unsur dapat diaksesnya. Ini kelemahan regulasi yang dari awal kita kritik," ujarnya.
Aziz mengatakan timnya hingga saat ini belum mendapat salinan putusan MA. Padahal salinan itu mereka butuhkan untuk dipelajari sebelum menentukan langkah hukum berikutnya yakni Peninjauan Kembali.
Baiq Nuril, mantan guru honorer asal Mataram, Nusa Tenggara Barat, dijatuhi hukuman 6 bulan penjara dan denda Rp500 juta atas putusan Mahkamah Agung pada 26 September lalu. Nuril dijerat dengan pasal 27 ayat (1) junto Pasal 45 UU ITE nomor 19 tahun 2016.
No comments:
Post a Comment