Jakarta - Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Jember menggelar Konferensi Hukum Nasional: Refleksi Hukum 2018 dan Proyeksi Hukum 2019, Kamis (6/12). Konferensi itu mengangkat tema "Legislasi dan Kekuasaan Kehakiman".
Direktur Puskapsi Bayu Dwi Anggono menjelaskan, alasan pihaknya mengangkat tema tersebut. Menurutnya, legislasi dan kekuasaan kehakiman merupakan faktor penentu menuju tegaknya negara hukum yang berkeadilan dan mensejahterakan.
Ditegaskan, jika persoalan legislasi dan kekuasaan kehakiman tidak segera dibenahi maka kepercayaan publik kepada negara demokrasi dan negara hukum akan terus menurun.
"Hal tersebut membahayakan keberlangsungan negara Indonesia ke depannya. Untuk itu seluruh pihak yang terkait dengan pelaksanaan legislasi dan kekuasaan kehakiman sudah saatnya untuk duduk bersama membahas agar pelaksanaan legislasi dan kekuasaan kehakiman di tahun mendatang lebih baik lagi," kata Bayu dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Kamis (6/12).
Terkait legislasi, Bayu memaparkan, kinerja legislasi DPR masih rendah secara kuantitatif maupun kualitatif. Menurutnya, kualitas legislasi saat ini tidak menjawab persoalan di masyarakat dan cenderung fokus pada kepentingan anggota DPR.
"Sementara kekuasaan kehakiman menjadi bahasan karena pada tahun 2018 ini MA dan badan peradilan di bawahnya justru menjadi penghambat dalam menegakkan keadilan di Indonesia," katanya.
Ditegaskan Bayu, putusan MA dan badan peradilan di bawahnya belum mampu menyelesaikan berbagai persoalan yang ada di masyarakat. Bahkan, yang terjadi justru malah menimbulkan permasalahan baru akibat sulitnya eksekusi putusan tersebut.
"Padahal hakikat keberadaan kekuasaan kehakiman adalah untuk menyelesaikan masalah yang tidak mampu diselesaikan cabang kekuasaan negara lainnya. Contohnya tidak diikutinya putusan MK oleh putusan MA dan PTUN terkait larangan pengurus Parpol menjadi calon anggota DPD di Pemilu 2019," ungkapnya.
Selain soal kualitas putusan, Bayu menambahkan, kekuasaan kehakiman selama 2018 juga menunjukkan wajah buram berupa banyaknya perilaku menyimpang yang dilakukan oleh hakim dan aparat pengadilan baik berupa korupsi maupun pelanggaran etik seperti perselingkuhan. Pada Tahun 2018 tercatat empat orang hakim terkena OTT KPK. Berbagai kasus OTT hakim dan aparat pengadilan telah menjadikan korupsi di Indonesia menjadi sempurna.
"Badan peradilan yang seharusnya menghukum para koruptor yang ada di cabang kekuasaan legislatif dan eksekutif justru juga tidak luput dan ikut-ikutan melakukan praktik-praktik kotor korupsi," tegasnya.
Untuk membahas kedua persoalan ini, Bayu mengatakan, pihaknya mengundang sejumlah narasumber dalam acara konferensi yang digelar rutin sejak 2016 tersebut. Deretan narasumber itu, yakni Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman, Ketua Komisi Yudisial Jaja Ahmad Jayus, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Arif Wibowo, Dirjen Peraturan Perundang-undangan Widodo Ekatjahjana, Kepala Badan Pembinaaan Hukum Nasional (BPHN) Benny Riyanto, Direktur Perludem Titi Anggraini, Direktur Pusako Universitas Andalas Feri Amsari, Ketua Pukat UGM Oce Madril, Deputi Direktur ILR Erwin Natosmal Oemar, Ahli HTN Universitas Udayana Jimmy Z Usfunan.
No comments:
Post a Comment