Pitan Daslani
Pemerhati dinamika politik dan hukum Indonesia
FILSUF Jerman Friedrich Nietzsche pernah berkata, “The surest way to corrupt a youth is to instruct him to hold in higher esteem those who think alike than those who think differently”. Artinya kurang lebih, “Cara paling pasti untuk merusak seorang anak muda adalah mengajari dia untuk lebih menghormati mereka yang sama pikirannya daripada mereka yang pikirannya berbeda dari itu”.
Mereka yang sama pikirannya adalah mereka yang pikirannya dibentuk oleh para politisi yang menggunakan media massa sebagai instrumen utama dalam menggiring opini untuk memenuhi kepentingan tertentu. Karena pembentukan opini dilakukan melalui media massa yang sulit ditandingi, maka opini yang dibentuk oleh media massa diterima sebagai “kebenaran”, terlepas dari apakah dia memang betul-betul benar.
Padahal faktanya, kehidupan manusia yang sedemikan kompleks ini tak bisa diatur hanya dengan teks-teks hukum yang sangat terbatas itu. Maka jangan heran kalau penegakan hukum sering tak mampu menghadirkan kebenaran dan keseimbangan keadilan. Sebab, hukum sebetulnya bukanlah ketentuan tentang kebenaran melainkan hanyalah suatu resultante atau kesepakatan yang dilahirkan dari rahim politik negara.
Ketika politik negara tidak mengutamakan kebenaran dan keadilan, maka hukum akan menjadi alat untuk membalas dendam, menghabisi lawan, mencari popularitas, dan mempertahankan kedudukan—bagi mereka yang menyangka bawa amoralitas adalah derajat tertinggi dari moralitas penegakan hukum. Pelacuran profesi menjadi akibatnya.
Perselingkuhan antara hukum dan politik sudah banyak terjadi di negeri kita. Salah satu contoh paling spektakuler terjadi dalam kasus Irman Gusman, mantan ketua DPD yang kini mendekam di Lapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat. Dua tahun setelah dia menjalani hukuman pokok 4 tahun 6 bulan barulah tersibak kebenaran sesungguhnya tentang kasus hukum yang menjeratnya, yaitu telah terjadi ketidakbenaran dan ketidakjujuran dalam penegakan hukum.
Belasan guru besar hukum dari berbagai perguruan tinggi terkemuka yang melakukan eksaminasi terhadap putusan perkara Irman Gusman berkesimpulan bahwa mantan senator Sumatera Barat itu seharusnya tidak dihukum, karena jaksa dan hakim keliru memilih pasal pidana untuk memutus perkara ini.
Proses penegakan hukum untuk kasus ini pun, menurut para pakar hukum tersebut yang memberikan anotasinya dalam buku Menyibak Kebenaran, Eksaminasi Terhadap Putusan Perkara Irman Gusman, jauh menyimpang dari azas hukum yang semestinya ditegakkan.
Tapi palu sudah diketok dan Irman telanjur dihukum dalam suatu serial sinetron politik yang berakhir di pengadilan tapi meninggalkan banyak pertanyaan di hati masyarakat.
Negara tidak dirugikan dengan uang Rp100 juta yang dituduhkan sebagai suap kepada Irman Gusman, karena uang itu berasal dari perusahaan swasta. Dan Irman pun tidak diberi kesempatan untuk mengembalikan gratifikasi itu, meskipun ada jeda waktu 30 hari untuk mengembalikannya, sesuai ketentuan undang-undang. Sebaliknya, justru uang negara yang dihabiskan untuk menangani kasus ini ditengarai lebih besar daripada gratifikasi yang diberikan kepada Irman tersebut. Di situlah negara dirugikan seolah-olah oleh penegak hukum.
Ada yang berpendapat bahwa negara justru dirugikan karena orang yang mempunyai kapasitas setinggi Irman Gusman dipenjarakan, padahal dia dapat berbuat banyak untuk kepentingan bangsa andai dia tidak dipenjarakan. Rekam jejaknya memberikan kesaksian tentang potensi Irman Gusman yang telah banyak bermanfaat bagi bangsa dan negara.
Andai saja profesor atheis Nietzsche masih hidup dan mendengar tentang kasus ini, mungkin dia akan menyuruh kita membaca bukunya yang berisi kutipannya yang viral ini: “Whoever fights monsters should see to it that in the process he does not become a monster”. Barangsiapa memerangi monster harus terlebih dahulu memastikan bahwa dirinya sendiri tidak menjadi monster itu.
Lalu, kenapa politik begitu bernafsu untuk berselingkuh dengan hukum? Coba renungkan kata-kata pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi dalam bukunya berjudul Freedom from Fear: “It is not power that corrupts but fear. Fear of losing power corrupts those who wield it and fear of the scourge of power corrupts those who are subject to it”. Terjemahan bebasnya, “Bukan kekuasaan itu yang korup, tapi ketakutan. Ketakutan akan kehilangan kekuasan merusak mereka yang memegangnya dan ketakutan akan cambuk kekuasaan merusak mereka yang menjadi targetnya”.
Dalam kondisi seperti itu maka salah satu cara untuk menghadirkan keadilan adalah melakukan perlawanan secara edukatif untuk mendidik penegak hukum yang dibutakan oleh ilah-ilah zaman ini, agar patuh pada sumpah jabatannya dan menjalankan hukum secara jujur dan bertanggungjawab kepada Tuhan yang nama-Nya dipinjam untuk memvalidasi sumpah jabatan itu.
Sebab setiap penegak hukum pun akan diadili dalam pengadilan Tuhan yang berlandaskan kebenaran, keadilan, dan kejujuran menurut ukuran Tuhan, bukan berdasarkan teks-teks hukum yang cacad yang dibuat oleh manusia yang sarat dengan berbagai kepentingan kotor.
Tapi hanya penegak hukum yang mendapat hidayah dari Tuhan, yang dapat menyadari di mana mereka telah keliru dalam menegakkan hukum, sehingga dapat berbalik dari perilaku yang tak adil dan tak jujur, lalu menegakkan hukum dalam kebenaran dan kejujuran. Dan kelompok ini sangat kecil jumlahnya, karena mayoritas penegak hukum tidak membutuhkan nasihat seperti ini. Maka mereka, walaupun mengklaim dirinya religius, perlu belajar dari Friedrich Nietzsche yang ateis itu, bahwa kebenaran akan tetap saja benar, meskipun hanya satu orang yang memperjuangkannya.
Editor : Ahmad Islamy Jamil
Baca Di berikut nya https://www.inews.id/news/nasional/manipulasi-penegakan-hukum-di-negeri-religius/413249
No comments:
Post a Comment