Saturday, January 12, 2019

Budaya Hukum Masyarakat dalam Penegakan UU Hak Cipta - hukumonline.com

Empat tahun sudah keberadaan UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta menjadi payung hukum terhadap perindungan karya cipta. Namun sepanjang 2018 penegakan UU tentang Hak Cipta di tengah masyarakat tak menunjukan kemajuan berarti dalam penegakan UU Hak Cipta. Karenanya dibutuhkan terobosan serta kemauan politik dari semua pemangku kepentingan, khususnya penyelenggara pemerintahan. Antara lain membangun budaya hukum terhadap masyarakat agar adanya kepedulian terhadap hak cipta.

Anggota Komisi III Arsul Sani berpandangan penghormatan  terhadap hak intelektual mesti ditelisik akar persoalannya. Menurutnya bila urai, ternyata tak saja persoalan regulasi semata termasuk penegak hukumnya. Namun semua bergantung dari budaya hukum masyarakat. Pasalnya, masyarakat masih terbilang masih kurangnya kepedulian terhadap hak cipta maupun hak intelektual.

“Karena itu menurut saya, tidak bisa hanya diselesaikan dengan penegakan hukum saja. Tapi harus ada pembangunan budaya hukum terkait dengan itu,” ujarnya kepada hukumonline, Jumat (11/1) di Komplek Gedung Parlemen.

Dalam rangka agar semua pihak mengetahui soal hak cipta, pemerintah memang mesti mensosialisasikan ke berbagai lini masyarakat. Namun kerja-kerja mensosialisasikan tak dapat menuntut ke pemerintah semata, tetapi masyarakat dan asosiasi atau perkumpulan profesi memiliki tanggungjawab yang sama. Misalnya asosiasi atau paguyuban penyanyi, musisi hingga Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI).

Bagi Arsul, mengenalkan seluk belum hak cipta perlu pula terus didorong oleh kalangan media. Terutama media televisi. Menurutnya masyarakat cenderung lebih menyukai visual ketimbang  sosialisasi dalam bentuk tulisan yang mengharuskan membaca. Dia yakin dengan begitu mayarakat bakal beranjak memiliki budaya hukum dan kepedulian terhadap hak cipta ketika telah memiliki informasi yang utuh.

Mantan anggota Pantia Khusus (Pansus) RUU Hak Cipta Harry Witjaksono  berpandangan penegakan terhadap hak cipta sejak UU 28/2014 diberlakukan memang terkesan setengah hati. Menurutnya pelanggaran hukum banyak dilakukan oleh mereka yang mencari penghasilan dengan cara ‘mengakali’ hak cipta.

“Jadi mental dan budaya hukum masyarakat kita belum menunjang,” ujarnya.

Harry yang juga mantan anggota DPR periode 2009-2014 itu menilai pelanggaran hak cipta seperti foto copi buku demi kebutuhan pendidikan memang masih ditolelir. Padahal bila merujuk UU Hak Cipta melarang penggandaan hak cipta tanpa izin pemegang hak cipta. Pasal 9 ayat (3) menyebutkan, “Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan”.

(Baca Juga: Ini Alasan Perlunya Penghargaan Terhadap Hak Cipta)

Nah sedianya ketika masyarakat sudah mengetahui soal larangan dan melaksanakan UU Hak Cipta, maka dengan sendirinya tidak melakukan penggandaan apapun hak cipta orang lain tanpa izin pemiliknya. Tak dapat dipungkiri masyarakat dihadapkan antara penegakan hukum dan tuntutan hidup.

Begitu pula antara penegakan hukum dan kebutuhan pelajar/mahasiswa, yakni kebutuhan akan buku original dengan harga yang masih melambung tinggi.  Baginya memang perlu ada terobosan baru dalam mengatasi persoalan hak cipta, kendatipun telah terdapat UU Hak Cipta. Namun dalam implementasi di lapangan, perlu adanya koordinasi antara badan atau lembaga berwenang.

Pekerjaan di 2019

Anggota Komisi X Anang Hermansyah  berpandangan persoalan hak cipta memang mesti terus didorong penegakan hukumnya. Karenanya di 2019 menjadi pekerjaan rumah bagi semua pihak. Khususnya aparat penegak hukum agar menegakan UU Hak Cipta. Anang berpandangan di 2019 ditengarai persoalan hak cipta masih menjadi permasalahan yang rumit.

Karenanya pemerintah dan para pemangku kepentingan lainnya mesti bekerja sama agar persoalan pelanggaran hak cipta dapat diberantas. Yakni antara Badan Ekonomi Kreatif, Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, dan Kementerian Dalam Negeri. Nah institusi berwenang tak dapat berjalan sendiri tanpa adanya dukungan lembaga lainnya dalam menegakan hak cipta.

Anang yang notabene seorang musisi itu menilai penyelenggara negara mesti memiliki keinginan besar dalam menegakan UU Hak Cipta. Sehingga permasalahan hak cipta tak melulu setengah hati penegakannya. Dia berharap antara pemerintah pusat dan daerah membuat peta dalam menegakan UU Hak Cipta

“Saya menanti sejak tahun lahirnya UU No 28/2014 tentang Hak Cipta hingga tahun 2019 tidak ada aksi konkret, semua masih pada tataran retoris,” ujarnya melalui keterangan tertulis.

Lebih lanjut politisi Partai Amanat Nasional itu  gencar memperjuangkan persoalan hak cipta. Dia menunjuk persoalan hak cipta di sektor musik. Menurutnya hak cipta di bidang musik amatlah akut. Seperti soal hak tampil, siar, putar karya lagi masih carut marut aturannya.

Idealnya persoalan hak tampil, siar, putar karya  dapat dikelola Pemda  dengan menerbitka regulasi. Isinya, kata Anang, mengatur soal pembayaran penggunaan lagu di ranah bisnis. Seperti konser, café, hingga hotel. Nah payung hukum membuat regulasi di tingkat daerah dengan merujuk UU Hak Cipta.

Let's block ads! (Why?)

Baca Di berikut nya https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5c39c2a25e023/budaya-hukum-masyarakat-dalam-penegakan-uu-hak-cipta

No comments:

Post a Comment