loading...
“Norma hukum mestinya bisa diseimbangkan dengan norma-norma lain dalam masyarakat yang berinteraksi dengannya. Hukum harus mampu mewujudkan rasa keadilan dan keseimbangan dengan norma budaya, etika, moral, dan norma agama seperti tercermin dalam cita hukum negara kita yaitu Pancasila,” kata Guru Besar Fakultas Hukum dan Masyarakat FH Undip, Esmi Warasih dalam Diskusi Hot Topic bertemakan “Refleksi Penegakan Hukum” MNC Trijaya FM Semarang, di Lobby Gets Hotel Semarang, Jawa Tengah, Rabu (16/1/2019).
Menurut dia, sejatinya manusia memiliki hukum itu bukan untuk mencari kesalahan. Hukum untuk memunculkan dan membudayakan kebenaran yang dapat menghasilkan rasa keadilan dan keseimbangan keadilan itu sendiri. “Sebab tujuan hakiki daripada hukum adalah untuk menciptakan kebahagiaan, kedamaian, kesejahteraan, dan kemanfaatan bagi manusia, bukan untuk melanggengkan kesengsaraan,” ujarnya.
Baca Juga:
Ia pun menyoroti kasus hukum yang menjerat mantan Ketua DPD RI Irman Gusman. Secara tekstual-yuridis, Irman dianggap telah bersalah oleh Pengadilan Tipikor dan dijatuhi hukuman penjara 4,5 tahun penjara ditambah pencabutan hak politiknya selama 3 tahun.
Esmi melihat, dari kacamata sosiologi hukum sulit untuk menghadirkan keadilan ketika tolok ukur yang digunakan adalah neraca hukum tekstual semata. “Tidak mungkin dari sudut pandang yang sempit itu kita bisa menilai rekam jejak, manfaat dan hasil kerja dan jasa-jasa seorang mantan pejabat tinggi negara dalam totalitas kehidupan dan darma baktinya,” jelasnya.
Dia menambahkan, dari sudut pandang penerima manfaat, Irman Gusman bisa dianggap sebagai pahlawan yang telah terkorbankan gara-gara membela kepentingan masyarakat di daerahnya, yaitu upayanya untuk menurunkan harga gula. Selain itu, Irman juga sama sekali tidak terbukti merugikan keuangan negara.
“Maka sedikit sumir bila seorang wakil rakyat dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya harus pula dijerat oleh hukum, dengan alasan tekstual. Padahal terbukti bahwa masyarakat di daerahnya menerima manfaat yang besar dari hasil kerja itu. Artinya, dia mendatangkan manfaat, tapi dikorbankan,” tandasnya.
Oleh karenanya pendekatan yang dilakukan penegak hukum harus terjadi pegeseran yang kuat. Jika tidak akan terjadi pendekatan pasal-pasal. "Sementara pasal-pasal ini juga harus dimaknai. Kalau tidak dilakukan dengan pendekatan non-hukum, maka pada akhirnya terbelenggu kaku," tegasnya.
Pakar Hukum Pidana Materiil Undip, Nyoman Serikat Putra Jaya mengatakan, aturan hukum harus diluruskan. Harus disesuaikan dengan perkembangan kemajuan ilmu dan teknologi serta hukum. Tidak bisa menyalahkan perkembangan masyarakat.
"Di dalam masalah korupsi misalnya, aparat penegak disediakan sekian pasal untuk penanganan hukum. Nah, saya kurang paham, aparat terpatri pada satu pasal," katanya.
Menurutnya, dalam hukum pidana bila ada benturan kepastian hukum dan keadilan maka yang diutamakan adalah keadilan. Ketentuan itu sudah masuk RUU Hukum Pidana. “Jadi di sini terdapat tuntutan kejelian penegak untuk melihat persoalannya,” ungkapnya.
Sekretaris Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Undip Dr Pudjiono menilai, tindak pidana korupsi merujuk penelitian ke masyarakat apakah putusan pidana bagi koruptor itu sudah sesuai keadilan atau sebaliknya. Berdasarkan penelitian dari Indonesia Corruption Watach (ICW), hal itu justru memunculkan tanggapan masyarakat beragam.
Mayoritas masyarakat menyebut putusan pidana bagi koruptor masih bisa dikatakan ringan."Berapa persentase yang ada, masih di bawah separuh yang ada. Karena masyarakat berharap pidana kasus korupsi bermuara pada penjeraan bagi pelakunya," ujar Pudjiono.
Menurutnya, hakim tak hanya bicara soal tekstual, tetapi bagaimana pada rasa keadilan masyarakat dan juga keadilan pelaku tindak pidana. Ada dua proses dalam aspek pemidanaan. Yaitu proses pembuktian juridis dan proses penjatuhan pidananya.
“Dalam proses pembuktian juridis, orang hukum selalu berpikir secara isoterik, yaitu rambu-rambu sesuai konteks hukum atau hanya bisa dipahami orang hukum,” terangnya.
(poe)
No comments:
Post a Comment