Monday, January 21, 2019

Mendudukkan Polemik Hukum Pembebasan Abu Bakar Ba'asyir - hukumonline.com

Kuasa hukum Abu Bakar Ba’asyir yang dipidana untuk kejahatan terorisme, Mahendradatta berulang kali menegaskan pembebasan kliennya memiliki landasan hukum yakni UU Pemasyarakatan dan aturan turunannya. Ia menepis anggapan dugaan manuver politik dari sikap Presiden Joko Widodo yang memberi keringanan pembebasan murni (tanpa syarat) kliennya jelang perhelatan Pilpres.

Penyataan ini disampaikan Mahendradatta dalam konferensi pers yang digelar di kantor Mahendradatta, Sabtu (19/1/2019) untuk memberi penjelasan hukum terkait pemberian pembebasan murni oleh Presiden Jokowi. Hadir pula penasehat hukum Presiden Joko Widodo, Yusril Ihza Mahendra.

“Pembebasan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir hal biasa, bukan sesuatu yang luar biasa. Ustadz Abu Bakar Ba’asyir remisinya dikasih 36 bulan, di luar remisi khusus dan remisi tambahan,” ujar Mahendradatta. Hitungan remisi ini mengacu pada Keputusan Presiden No.174 Tahun 1999 tentang Remisi.

Ia mengatakan berdasarkan hitung-hitungan remisi, Abu Bakar Ba’asyir memang telah memiliki hak mendapat pembebasan bersyarat sesuai Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Permenkumham RI) No.03 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat jo PP No.99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas PP Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Mahendradatta kembali merujuk berbagai regulasi soal sistem pemasyarakatan soal informasi pembebasan ini. Hal ini berdasarkan hukum, UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Berdasarkan keseluruhan regulasi sistem pemasyarakatan itu, ia berharap agar pembebasan Abu Bakar Ba’asyir tidak menjadi komoditas politik. Termasuk menyalahkan pemerintah atas tuduhan melakukan prosedur di luar hukum atau memuji pemerintah karena berani menyimpangi hukum demi keadilan atas dasar kemanusiaan.

Penasehat hukum Presiden Joko Widodo, Yusril Ihza Mahendra yang datang agak terlambat di tengah konferensi pers lantas membenarkan seluruh pernyataan Mahendradatta. Ia mengatakan tidak ada maksud mempolitisasi pembebasan Abu Bakar Ba’asyir. “Hak mendapat pembebasan bersyarat baru dimiliki beliau pada 13 Desember 2018, itu pun sudah masuk masa kampanye, jadi pertanyaan yang sama akan muncul, ya sama aja,” kata Yusril di hadapan awak pers yang hadir.

Baca:

Lantas benarkah tidak ada yang luar biasa dari pembebasan Abu Bakar Ba’asyir? Dalam konferensi pers terungkap bahwa Presiden Joko Widodo telah bertindak mengesampingkan syarat pembebasan khusus (secara bersyarat) untuk Abu Bakar Ba’asyir. Hal tersebut diakui baik oleh Mahendradatta maupun Yusril yang keduanya sama-sama meyakinkan bahwa tindakan tersebut sah secara prosedur hukum, terutama hukum administrasi negara.

Tindakan itu meringankan syarat yang harus dipenuhi Abu Bakar Ba’asyir. Hal ini diatur Pasal 8 Permenkumham RI No.03 Tahun 2018 tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, Dan Cuti Bersyarat jo PP No.99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas PP Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Pasal 8 Permenkumham No.03 Tahun 2018

Narapidana yang melakukan tindak pidana terorisme untuk mendapatkan Remisi, selain harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 juga harus memenuhi syarat:

  1. bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya;
  2. telah mengikuti Program Deradikalisasi yang diselenggarakan oleh Lapas dan/atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme; dan
  3. menyatakan ikrar:
  1. kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tertulis bagi Narapidana warga negara Indonesia; atau
  2. tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme secara tertulis bagi Narapidana warga negara asing.

Yusril dan Mahendradatta mengakui Abu Bakar Ba’asyir menolak menandatangani surat ikrar kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Syarat ini juga diatur dalam Pasal 34A PP No.99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas PP Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Artinya, Abu Bakar Ba’asyir bisa saja mendapatkan pembebasan tanpa memenuhi persyaratan itu.

“Presiden itu kan bisa mengambil kebijakan dengan asas kebebasan bertindak, dalam keadaan tertentu pejabat administrasi negara itu dapat mengesampingkan aturan kebijakan, seperti yang dibuat oleh Menteri sepanjang dia bisa mempertahankan alasan-alasan yang benar,” jelas Yusril. Ia pun menggarisbawahi bahwa tindakan ini bukan jenis diskresi seperti dimaksudkan UU No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Tegasnya, kriterianya tidak tunduk pada UU Administrasi Pemerintahan tersebut.

Yusril melanjutkan penjelasan soal kesediaan Presiden Joko Widodo memberi keringanan syarat penandatanganan surat ikrar kesetiaan pada Negara Kesatuan Republik Indonesia itu setelah menyampaikan hasil perbincangan Yusril dengan Abu Bakar Ba’asyir yang kemudian diterima Presiden Joko Widodo.

“Kalau Pancasila sejalan dengan Islam kenapa tidak patuh kepada Islam saja, kata Ustadz (Abu Bakar Ba’asyir),” kata Yusril mengutip pendapat Abu Bakar Ba’asyir. Yusril meyakinkan Presiden Joko Widodo bahwa keyakinan Abu Bakar Ba’asyir sudah bisa dianggap cukup bahwa ia menerima dan setia pada Pancasila melalui ketaatannya pada Islam.

Persetujuan Presiden Joko Widodo dilanjutkan dengan perintah membebaskan Abu Bakar Ba’asyir kepada Menteri Hukum dan HAM. Yusril menambahkan eksekusi pembebasan akan dilakukan segera meskipun belum dipastikan tanggalnya. Namun ketika ditanya wartawan soal produk hukum pembebasan ini, Yusril menyebutkan hal itu sudah cukup dengan perintah lisan Presiden.

“Presiden itu kalau dia memberikan perintah, tertulis ataupun lisan kekuatannya sama. Sesuatu yang sudah menjadi pengetahuan umum tidak perlu dibuktikan,” tegasnya.

Baca:

Ahli beda pendapat

Oce Madril, ahli hukum administrasi negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada menilai Presiden Joko Widodo telah melakukan langkah yang cacat hukum. “Bisa dikatakan kebijakan ini cacat hukum, dan kalau hanya dengan lisan, maka tidak bisa dieksekusi,” kata Oce saat dihubungi Hukumonline, Senin (21/1/2019).

Oce melihat syarat definitif yang tertulis dalam PP dan Permenkumham tidak bisa begitu saja diabaikan Presiden. Apalagi produk kebijakan itu hanya dengan lisan tanpa dituangkan dalam bentuk tertulis. Bagi Oce, pembebasan ini cacat materil dan cacat formil serta batal demi hukum.

“Kalau kebijakannya lisan, menurut saya juga tidak bisa dieksekusi. Kalau sifatnya kebijakan harus dalam bentuk tertulis,” kata Oce.

Menurutnya, Presiden harus tunduk pada PP yang sudah jelas-jelas mengatur syarat (pembebasan bersyarat) definitif. Menggunakan perintah lisan saja tidak cukup. Presiden harus menjelaskan rasionalitas tindakannya berdasarkan asas umum pemerintahan yang baik.

Oce menegaskan aturan dan prosedur hukum pembebasan ini telah jelas, sehingga tidak ada alasan pemerintah menyimpanginya. Lain halnya jika memang terjadi kekosongan pengaturan. “Kalau begitu cara berhukum, nanti bisa dibayangkan semua pejabat negara punya logika begitu, bagaimana? Ini tidak bisa pakai lisan saja, bisa mengacaukan aturan yang sudah jelas,” Oce menambahkan.

Dihubungi terpisah, ahli hukum administrasi negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Harsanto Nursadi memiliki pandangan agak berbeda. Ia mengacu konstitusi dimana Presiden RI adalah sebagai Kepala Pemerintahan dan Kepala Negara. Salah satu buktinya peran Presiden ikut melantik berbagai pimpinan lembaga negara serta kewenangannya membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).

Karena itu, tindakan Presiden Joko Widodo bisa diterima dengan melihatnya sebagai tindakan Kepala Negara. “Saya setuju, menurut saya bisa sebagai Kepala Negara. Kepala Negara bisa lebih leluasa selama tidak melawan hukum,” kata Harsanto. Harsanto bisa menerima penjelasan Yusril atas dasar bahwa UU Pemasyarakatan memang tidak mengatur soal teknis ikrar tersebut.  

Artinya, norma baru yang dibentuk dalam PP, lalu diturunkan ke Peraturan Menteri bisa disimpangi Presiden sebagai Kepala Negara tanpa perlu membentuk Perppu. Pengaturan soal ikrar kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tertulis bagi narapidana terorisme warga negara Indonesia baru muncul dalam PP revisi di tahun 2012 dan diteruskan dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM terbaru di tahun 2018.

Meski begitu, Harsanto menilai tindakan yang berdampak hukum oleh Presiden ini harus dituangkan dalam produk hukum tertulis. “Menurut saya Presiden harus segera mengeluarkan Keputusan Presiden dan produk itu di luar jangkauan (yang bisa digugat) Pengadilan Tata Usaha Negara,” katanya.

Let's block ads! (Why?)

Baca Di berikut nya https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5c45ba0914454/mendudukkan-polemik-hukum-pembebasan-abu-bakar-baasyir

No comments:

Post a Comment