Jakarta, IDN Times - Guru Besar Hukum Pidana, Andi Hamzah, menilai potret penegakan hukum di era pemerintahan Joko Widodo jauh lebih buruk ketimbang zaman orde lama. Hal itu ditandai dengan penegakan hukum yang semakin tajam ke bawah namun tumpul ke atas.
Selain itu, dia menilai aparat penegak hukum saat ini berada di bawah pemerintahan, sehingga tidak bisa bersikap independen dan secara fungsional kurang menunjukkan giginya.
"Sebagai contoh dalam kasus Ahmad Dhani, ia seharusnya tidak ditahan karena pelanggar UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) dihukum empat tahun. Seseorang ditahan, apabila ancaman hukumannya di atas lima tahun," ujar Andi di program Indonesia Lawyer Club yang tayang di tvOne, Selasa (12/2) malam.
Alasan lain mengapa ia menyebut penegakan hukum di Indonesia saat ini jauh lebih buruk dibandingkan Orde Lama, karena ketika itu aparat penegak hukum jarang yang berbuat korupsi.
"Jaksa, hakim, rata-rata tidak mengantongi sertifikat sebagai sarjana hukum. Di tahun 1950-an pendapatannya masih jauh lebih rendah. Tapi, tidak ada yang korupsi. Saya tidak pernah tahu dulu ada jaksa yang korupsi," kata Andi.
Ia mengakui tidak semua orang setuju dengan pendapatnya itu. Namun, ia hanya mencoba untuk berbicara jujur.
"Tapi, tetap saja ada orang yang tidak senang," tutur dia.
Lalu, apa lagi yang menyebabkan dia mengambil kesimpulan penegakan hukum di Indonesia, di bawah pemerintahan Jokowi, lebih buruk ketimbang di era Orde Lama?
1. Penerapan UU di masa kini kacau dan saling tumpang tindih
Menurut Andi, penerapan hukum di masa kini kacau dan aturannya saling tumpang tindih. Sebagai contoh, ia menyebut di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sudah ada pasal khusus yang mengatur soal ujaran kebencian. Hal itu tertulis di Pasal 154-158.
Bunyi Pasal 154: "barang siapa di muka umum menyatakan pernyataan permusuhan, kebencian atau merendahkan terhadap Pemerintah Indonesia maka akan diancam pidana penjara paling lama 7 tahun atau pidana denda paling banyak Rp4.500".
Namun, pada 2007, Mahkamah Konstitusi mencabut dua pasal yang dianggap dapat menjerat demonstran yang menghujat pemerintah. Menurut hakim Mahkamah Konstitusi ketika itu, Jimly Asshidiqie, pasal tersebut secara tidak proporsional menghalangi kemerdekaan untuk menyampaikan pendapat.
Tetapi setelah itu, pemerintah membuat UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Revisinya kemudian disahkan pada 2016 lalu.
"Padahal isi Pasal 25A ayat 1 UU ITE sama dengan isi Pasal 154-158 di dalam KUHP. Jadi, sudah jelas ada tumpang tindih," kata Andi.
Contoh lain di mana terdapat aturan yang tumpang tindih yakni UU Anti Pornografi dan Pornoaksi. Sebenarnya, tutur Andi, itu sudah diatur di dalam Pasal 281-282 KUHP.
Baca Juga: Indeks Persepsi Korupsi Indonesia di Tahun 2018 Hanya Naik Satu Poin
2. UU yang mengatur korupsi dinilai sangat kacau
Lanjutkan membaca artikel di bawah
Editors’ picks
Hal lain yang dicatat oleh Guru Besar Universitas Trisakti itu yakni soal penerapan hukuman bagi para koruptor. Ia menilai ancaman hukumannya tidak adil.
"Seorang koruptor yang sudah korupsi uang senilai milaran rupiah malah diancam hukuman 4 tahun. Tapi, di sisi lain, Irman Gusman (mantan Ketua DPD) yang dituduh telah menerima suap senilai Rp100 juta, juga divonis dengan hukuman yang sama," ujar Andi.
Pelaku korupsi puluhan miliar, malah diberikan pemotongan tahanan lebih dari 70 bulan. Tapi, ada napi kasus korupsi yang ia anggap sudah berubah di dalam penjara, yakni Angelina Sondakh, malah ditolak remisinya.
"Saya menyaksikan di sidang, ia sudah berubah. Sekarang mengenakan jilbab, bahkan menjadi guru ngaji bagi napi lainnya, tapi kok malah tidak mendapatkan remisi? Kalau di negara maju, napi yang seperti ini sudah pasti mendapatkan remisi," kata dia.
Sebab, tujuan dari seseorang ditahan di lapas untuk membuat ia menjadi individu yang lebih baik.
"Sama saja fungsinya seperti rumah sakit. Kalau dia sudah sembuh, maka diizinkan pulang," tutur dia.
3. Penegak hukum saat ini tidak bekerja secara adil
Hal lain yang juga disorot oleh Andi yakni aparat penegak hukum saat ini, yang dinilai bekerja tidak independen. Sebagai contoh di 1950-an keluar UU Nomor 1 mengenai Mahkamah Agung. Di sana, tertulis posisi Jaksa Agung independen dan bukan anggota kabinet.
Maka, jadilah Jaksa Agung ketika itu Suprapto berani menangkap tiga orang menteri yakni Menteri Kehakiman, Menteri Kemakmuran, dan Menteri Luar Negeri. Khusus untuk Menlu, ia ditangkap di Bandara Kemayoran ketika hendak bertolak ke Amerika Serikat dan menghadiri Sidang Umum PBB.
"Menlu ditangkap karena dia membawa uang dolar milik seorang pengusaha. Dipikir pengusaha itu, dolarnya tidak akan diketahui oleh jaksa agung karena dalam jumlah besar. Ternyata, hal itu diketahui oleh jaksa agung," kata Andi.
Alhasil, Menlu tetap diizinkan pergi ke Amerika Serikat, tapi uang dolar tersebut diserahkan ke negara.
4. Kesadaran hukum masyarakat perlu ditingkatkan
Hal lain yang perlu ditingkatkan apabila perbaikan hukum di Indonesia ingin lebih baik yaitu dengan meningkatkan kesadaran masyarakat. Ia kemudian mengambil contoh yang paling sederhana.
"Coba saja Anda berkunjung ke Jalan Margonda Raya di Depok itu setiap pagi. Di sana, Anda bisa melihat para pengemudi sepeda motor berebut jalan. Bahkan, ada yang berani menentang arus ketika mengemudi," kata Andi.
Peristiwa itu pun tidak digubris oleh polisi. Sementara, apabila peristiwa yang sama terjadi di Malaysia, sudah pasti, tutur dia, akan diproses oleh polisi lalu lintas.
Gaji para penegak hukum pun, kata Andi, juga perlu diperbaiki. Tujuannya, agar mereka tidak mudah untuk disuap.
Baca Juga: KPK Kecewa Penegakan Hukum di Indonesia Masih Buruk
Baca Di berikut nya https://www.idntimes.com/news/indonesia/santi-dewi/andi-hamzah-penegakan-hukum-saat-ini-lebih-buruk-dari-orde-lama
No comments:
Post a Comment