loading...
Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia
NEGARA Indonesia adalah negara hukum sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 Ayat 3 UUD NRI 1945. Selain itu, negara Indonesia juga merupakan negara yang menganut kedaulatan rakyat sebagaimana juga disebut dalam Pasal 1 Ayat 2 UUD NRI 1945.
Namun, pada tataran praktik entitas hukum dan kedaulatan rakyat seolah dibuat terpisah berbeda dengan konsepsi awalnya, di mana negara hukum dan demokrasi merupakan dua konsepsi mekanisme kekuasaa dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Baca Juga:
Kedua konsepsi tersebut saling menopang berjalan secara simultan, bahkan dapat dikatakan saling melengkapi sehingga tidak bisa dipisahkan. Franz Magnis Suseno mengatakan, demokrasi yang bukan negara hukum bukan demokrasi dalam arti sesungguhnya. Demokrasi merupakan cara paling aman untuk mempertahankan kontrol atas negara hukum.
Hukum dan demokrasi awalnya diharapkan menjadi tiang penyangga pasca setelah runtuhnya rezim Orde Baru, dalam upaya mewujudkan rasa keadilan dan kepastian di kehidupan masyarakat. Akan tetapi, berdasarkan realitas yang ada, masih jauh dari ekspektasi apalagi dikaitkan dengan asas Salus Populi Suprema Lex Esto, yang artinya, keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi. Seperti halnya dalam proses penegakan hukum, untuk menyelesaikan kasus-kasus hukum yang terjadi belakangan ini masih dirasa tebang pilih.
Adapun penyelesaian kasus-kasus hukum yang dirasa masih tebang pilih bahkan ironisnya bisa dikatakan tidak memberikan keadilan dan kepastian hukum. Seperti kasus "penyiraman air keras Novel Baswedan" yang sudah hampir dua tahun kasus ini masih pada tahap proses investigasi.
Apabila dibandingkan dengan kasus yang hoaks yang menjerat Ratna Sarumpaet, dirasa sangatlah timpang karena proses investigasi dalam mengungkap kasus Ratna Sarumpaet relatif sangat singkat. Terlepas alasan apa pun itu, hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu.
Sementara hukum tidak akan tegak apabila substansi dari hukum tersebut tidak mengakomodasikan keinginan masyarakat sehingga acap kali tidak memberikan keadilan dan kepastian hukum. Jerome Frank dalam bukunya berjudul Law and The Modern Mind menyebutkan, penyebab utama ketidakpastian hukum adalah ketidakpastian peraturan.
Hukum menjadi salah satu produk penting dari para penguasa. Hal ini terjadi bukan semata-mata karena dorongan kekuasaan yang mengatur atau karena pada kekuasaan membentuk hukum. Akan tetapi, kurangnya partisipasi civil society dalam pembentuk hukum (undang-undang) sehingga memarginalkan kepentingan dan kebutuhan masyarakat.
Hal itu tidak mencerminkan kedaulatan rakyat, di mana rakyat mempunyai kuasa dalam menentukan hak-haknya. Secara simbolis sering digambarkan bahwa pemerintah bekerja hanya untuk rakyat (daulat rakyat) sebagaimana ucapan Abrham Lincon dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (from the people ,of the people, for the people).
Maksud "dari rakyat" adalah mereka sebagai penyelenggara negara atau pemerintah harus terdiri atas seluruh rakyat itu sendiri atau yang disetujui atau didukung oleh rakyat. Maksud "untuk rakyat" adalah apa pun yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara atau penyelenggara pemerintahan haruslah berdasarkan mencerminkan kehendak masyarakat. Lebih lanjut yang dimaksud dengan "oleh rakyat" adalah penyelenggara negara dilakukan sendiri oleh rakyat atau atas nama rakyat atau mewakili rakyat tersebut.
Sebagai contoh RUU tentang Permusikan yang belum ditetapkan saja telah menimbulkan polemik di kalangan para musisi, bahkan ada yang menuding bahwa RUU Permusikan telah memberikan batasan dan memasung kreativitas terhadap para musisi untuk menyuarakan pendapatnya melalui musik.
Dengan kata lain, para pembuat RUU tentang Permusikan mencoba meminimalisasikan kritik terhadap pemerintahan. Tentu hal tersebut bertentangan dengan Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang bunyinya kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
Selanjutnya UU Nomor 2/2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17/2014 Tentang MD3. Ada beberapa pasal yang substansinya sarat akan kontroversi terkait pasal "antikritik" dan ada beberapa pasal yang diubah dalam UU MD3. Jika ditelaah secara cermat, ada beberapa pasal yang termaktub dalam undang-undang tersebut menunjukan bahwa karakter produk hukumnya mengarah pada karakter menindas/konservatif/ortodoks.
Penulis mencoba mengulasnya dengan pendekatan politik hukum dan bentuk menentukan karakter produk hukumnya. Pertama, berdasarkan Pasal 73 yang bunyinya bahwa dalam hal setiap orang sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) tidak hadir setelah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah, DPR berhak melakukan panggilan paksa dengan menggunakan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Sementara itu, berdasarkan Pasal 73 Ayat 4 huruf b, Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib memenuhi permintaan. Berdasarkan frase tersebut terlihat jelas adanya egoisme dari DPR untuk melakukan tindakan persuasif yang kemungkinan melanggar hak-hak seseorang.
Kedua, Pasal 122 Ayat 1 terkait kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang bunyinya "Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR".
Dalam hal ini, DPR dengan alat perlengkapannya (MKD) telah memperluas kewenangannya yang seyogianya menurut penulis, MKD tidak perlu terlibat terlalu jauh dan cukup terlibat dalam penyelesaian masalah internal saja. Pada frasa di atas secara eksplisit telah menimbulkan kontroversi yang bisa mencederai proses demokrasi sebagaimana seseorang seharusnya siapa pun bebas berpendapat, baik melakukan kritik atau menyuarakan keinginannya.
Stigma buruk yang disematkan pada peran legislatif sebagaimana kita ketahui bahwa pada tataran praktiknya fungsi legislasi seakan terpasung tidak bisa bergerak diakibatkan adanya tarik menarik kepentingan dari para pelaku politik yang ada di parlemen. Ironis dan tragisnya, fungsi legislasi cenderung terlupakan karena adanya kepentingan di luar konteks mewakili rakyat di parlemen, seperti persiapan menghadapi pemilu tahun 2019, yang pelaksanaan pemilihan legislatif dan pemilihan presiden dilaksanakan serentak.
Selain itu, terkait peran Presiden dalam proses legislasi dianggap terlalu jauh. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 20 Ayat 2, setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama.
Berdasarkan bunyi redaksi pasal tersebut, menurut penulis akan terjadi stagnasi jikalau DPR tidak menyetujui rancangan undang-undang berasal pemerintah atau sebaliknya Presiden menolak rancangan undang-undang yang diusulkan DPR. Oleh karenanya, undang-undang tidak akan dihasilkan. Hal ini memicu anomali dalam penyelenggaraan pemerintahan mengenai fungsi legislasi karena ego masing-masing lembaga.
Karena itu, produk hukum tersebut bisa kita sepakati bahwa dalam proses pembuatannya sarat akan kepentingan dan kebutuhan, baik kepentingan tersebut berasal dari pembuat hukum (undang-undang) dalam hal ini kepentingan individu pembuat undang-undang maupun dari kalangan masyarakat sipil (civil society ) yang bersifat kolektif.
Namun, berdasarkan realitas empirik, kecenderungan hukum (undang-undang) yang ada di Indonesia merupakan cerminan kehendak para pembuatnya, hal ini seperti contoh disebutkan sebelumnya. Dengan demikian, mau dibawa kemana hukum kita? Apabila pembentuk hukumnya saja tidak memperjuangkan hak-hak yang diwakilinya.
(maf)
No comments:
Post a Comment