Oleh Zainal Abidin
DISKURSUS politik soal Lembaga Wali Nanggroe (LWN) dengan ragam sudut pandangnya sudah banyak tersampaikan di berbagai media, terakhir suguhan cabut mandat (Serambi, 29/1/2019). Sementara perspektif hukum lembaga yang ada di Nanggroe khusus ini masih miskin disurahkan ke publik sebagai legal policy hukum resmi yang sedang dan akan diberlakukan. MoU Helsinki, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) dan Qanun Lembaga Wali Nanggroe adalah garis politik hukum yang primer bila ingin melihat hukum LWN. Butir 1.1.7 MoU Helsinki Juncto Pasal 96 UUPA sebagai norma dasar, Qanun LWN merupakan norma instrumental.
Berdasarkan MoU Helsinki LWN kesepakatan imperatif untuk dibentuk dengan segala perangkat upacara dan gelarnya. Pasal 96 UUPA secara eksplisit menyatakan LWN merupakan lembaga independen, bukan lembaga politik dan bukan pula sebagai lembaga pemerintahan. Sebagai lembaga negara independen, maka institusi ini dibentuk karena urgensi terhadap suatu tugas khusus tertentu yang tidak dapat diwadahi dalam bentuk kelembagaan pemerintahan atau lembaga politik.
Meminjam konsep Trias Politica Baron de Montesquie yang membagi atau mengorganisir kekuasaan menjadi tiga cabang kekuasaan, maka LWN ini tidak masuk ke dalam tiga kekuasaan negara (legislatif, eksekutif, dan yudikatif), melainkan cenderung sebagai kekuasaan keempat. Konsep Trias Politica ini tidak lagi dapat mewadahi dinamika kekuasaan yang terus berkembang akibat tuntutan demokrasi.
Seiring dengan kemunculan trend di berbagai negara untuk membentuk lembaga-lembaga negara independen. Lembaga-lembaga negara semacam ini kemudian disebut the fourth branch of government (cabang keuasaan keempat). Macam-macam sebutan lembaga independen ini seperti state auxiliary organ (AS), quasi outonomous non-governmental organization-Quangos (Prancis), dan agencies (Inggris).
Indonesia menyebutnya dengan lembaga, badan atau komisi negara independen. Fungsinya pun berganda (multiple) dapat memegang beberapa fungsi sekaligus; fungsi semi-legislatif (regulasi), fungsi eksekutif (operasional-administratif) maupun fungsi yudisial (memberikan punishment/hukuman). Semua lembaga ini diidealkan memiliki kedudukan yang independen dan otonom tidak dalam dominasi personal atau institusional cabang kekuasaan yang lain. Oleh karena lembaga independen ini tidak berada dikekuasaan legislatif, eksekutif maupun yudikatif, maka keberadaannya diatur dan mengatur dirinya secara khusus.
Lembaga independen
Dalam tautannya dengan konsep lembaga independen di atas, dapat diurai bahwa LWN sebagai lembaga independen tidak berada dan tunduk pada kekuasaan eksekutif, sehingga gubernur tidak memiliki kewenangan untuk mem-PLT-kan Wali Nanggroe maupun alat kelengkapan Wali Nanggroe. Gubernur hanya memiliki keterkaitan di wilayah administratif pada badan Keurukon Katibul Wali (Sekretariat Wali Nanggroe), karena mereka Aparatur Sipil Negara (ASN) dari dan ditempatkan oleh pemerintah Aceh.
LWN secara instrumental diatur dalam Qanun Aceh No.8 Tahun 2012 tentang Lembaga Wali Nanggroe sebagaimana telah diubah dengan Qanun Aceh No.9 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Qanun Aceh No.8 Tahun 2012 tentang Lembaga Wali Nanggroe. Sebagai sebuah organisasi, LWN ini oleh Qanun diberi penopang puluhan alat kelengkapan subsistem dari satu sistem kelembagaan. Alat kelengkapan LWN ini merupakan motor penggerak bagi LWN yang dinakhodai oleh Wali Nanggroe. Sebagai sebuah sistem, berjalannya suatu organisasi ditentukan oleh semua komponen sistem, satu komponen tidak ada atau tidak berfungsi maka akan memengaruhi secara keseluruhan.
Alat kelengkapan LWN merupakan conditio sine quanon bagi pencapaian fungsi, tujuan, tugas dan wewenang LWN. Wali Nanggroe dipilih oleh alat kelengkapan Wali Nanggroe sebagaimana dinukilkan Pasal 70 ayat (1) dan (2) Qanun No.8 Tahun 2012 bahwa Wali Nanggroe dipilih secara musyawarah dan mufakat oleh Komisi Pemilihan yang dibentuk secara khusus. Komisi Pemilhan dimaksud terdiri dari; a) Majelis Tuha Peut Wali Nanggroe, b) Majelis Tuha Lapan Wali Nanggroe, c) Mufti atau yang mewakilinya, dan d) Perwakilan Alim Ulama yang masing-masing Kabupaten/Kota satu orang.
Sementara Pasal 76 ayat (1) dan (2) Qanun No.8 Tahun 2012 menentukan Majelis Tuha Peuet Wali Nanggroe dipilih secara musyawarah dan mufakat oleh Komisi Pemilihan Tuha Peuet. Komisi Pemilihan Tuha Peuet terdiri; a) Majelis Fatwa, b) Majelis Tuha Lapan Wali Nanggroe, dan c. Perwakilan Alim Ulama masing-masing kabupaten/kota satu orang. Pasal 117 ayat (1) Qanun Nomor 9 Tahun 2013 menjelaskan masa jabatan Wali Nanggroe selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pengukuhan.
Baca Di berikut nya http://aceh.tribunnews.com/2019/02/04/optik-hukum-lwn
No comments:
Post a Comment