Thursday, January 25, 2018

Holding Migas Disebut Bermasalah Secara Hukum

JAKARTA - Pusat Studi Energi (PSE) Universitas Gadjah Mada (UGM) telah melakukan kajian tentang rencana holding migas yang akan dilakukan oleh Kementerian BUMN. Dari kajian itu terungkap bahwa rencana holding tidak sesuai dengan peraturan perundangan-undangan.

Kepala PSE UGM, Deendarlianto menjelaskan bahwa mengacu kepada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 002/PUU-I/2003 bahwa BUMN pengelola SDA yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak tidak dapat dihilangkan statusnya sebagai BUMN dengan nama dan mekanisme apapun, termasuk holding. Sedangkan, kasus holding migas ini telah menghilangkan status perseroan pada PGN dan dijadikan sebagai anak perusahaan Pertamina.

Lalu tegas Deen, argumentasi pemerintah yang menyatakan penyertaan saham milik negara pada BUMN kepada BUMN lain dalam rangka holding sehingga menghilangkan status suatu BUMN dan menjadikannya PT (Perseroan Terbatas) tidak akan menghilangkan kendali negara pada PT tersebut karena ada kepemilikan satu lembar saham dwiwarna (golden share), adalah tidak berdasarkan hukum.

"Hingga saat ini keberadaan saham dwiwarna belum komprehensif diatur di level undang-undang, bahkan tidak di Undang-undang No. 19 Tahun 2003 Tentang BUMN. Keberadaan saham dwiwarna implisit hanya ada dalam satu ayat di Undang-undang No. 40 Tahun 2007," ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (25/1/2018).

Menurutnya, jelas bahwa jangkauan kewenangan saham dwiwarna dalam hukum eksisting sangat terbatas. "Mencalonkan dan/atau menetapkan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris pun tidak serta merta memegang pengendalian PT (perubahan BUMN) karena kekuasaan tertinggi di dalam PT dipegang oleh RUPS, sebagaimana diatur Pasal 75 ayat (1) Undang-undang No. 40 Tahun 2007," papar dia.

Oleh karenanya, argumentasi saham dwiwarna dapat menjamin pengendalian pemerintah, mandat PSO (Public Service Obligantion), hingga dapat melarang penjualan saham PT adalah tidak berdasar.

Dia mengingatkan, ekstensifikasi penafsiran tidak diperkenankan jika hukumnya telah mengatur, sehingga jika ingin memperluas daya jangkau saham dwiwarna harus terlebih dahulu mengamandemen Undang-undang No. 19 Tahun 2003 Tentang BUMN dan Undang-undang No. 40 Tahun 2007 Tentang PT.

Selain itu, menghilangkan pemilikan saham sehingga BUMN berubah menjadi PT dan menjagokan saham dwiwarna, sama halnya dengan mempertaruhkan kepentingan negara, terlebih tidak ada undang-undang yang mendasari. Baju hukum yang dapat menjamin proteksi adalah yang hierarkinya tinggi yakni Undang-Undang, sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

"Ketiadaan dasar hukum saham dwiwarna berarti ada kekosongan hukum (rechts vacuum), sehingga munculnya wacana penjualan PT pasca holding menjadi beralasan," pungkasnya.

(ven)

Let's block ads! (Why?)

Baca Di berikut nya https://ekbis.sindonews.com/read/1276575/34/holding-migas-disebut-bermasalah-secara-hukum-1516857260

No comments:

Post a Comment