Jakarta, IDN Times - Ketua Setara Institute Hendardi turut angkat bicara soal puisi buatan Sukmawati Soekarnoputri yang dinilai menistakan agama Islam.
Berkaca pada kasus yang menjerat mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, Hendardi mengatakan, dasar hukum yang dijadikan acuan, apakah suatu tindakan dianggap menodai agama atau tidak cenderung masih rancu.
"Menyampaikan puisi itu bisa saja menjadi argumen hukum bahwa puisi itu bukan lah bentuk penodaan agama, melainkan bentuk kebebasan berekspresi dan berpendapat setiap warga. Namun, karena rumusan delik penodaan agama yang absurd tolok ukurnya, maka pihak lain yang tidak sependapat kemudian mempersoalkannya dengan dalil penodaan agama," kata dia dalam keterangan tertulis, Rabu (4/4).
1. Mempertanyakan bagian puisi Sukmawati yang menistakan agama?
Menurut Hendardi, substansi puisi yang diutarakan ananda Proklamator Bangsa tidak memuat satu pun konten yang melecehkan agama.
"Puisinya memuat kata 'azan' dan 'cadar' menjadi kontroversi. Kalau kita baca substansi puisi secara jernih, sebenarnya tidak ada substansi yang benar-benar bermasalah dari sisi SARA. Puisi yang sangat verbalis itu merupakan ekspresi seni yang memiliki derajat kebenaran faktual memadai, karena justifikasi faktual nya sebenarnya memang ada," kata dia.
Baca juga: Ini Penjelasan Lengkap Sukmawati soal Puisi Yang Dianggap Menista Islam
2. Tahap sebelum dugaan penistaan agama masuk ke ranah pidana
Hendardi mengingatkan hukum di Indonesia soal penistaan agama, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 1/PNPS/1965 sebagai genus Pasal 156a KUHP, telah mengatur beberapa tahap, sebelum kasus yang dipolisikan masuk ke ranah persidangan.
"Perlu diingat oleh semua pihak bahwa due process of law tuduhan kasus-kasus penodaan agama, musti dilakukan secara bertahap, dengan peringatan dan teguran. Pilihan pemidanaan adalah opsi terakhir yang bisa ditempuh setelah proses klarifikasi itu dilakukan dan peringatan diabaikan," kata dia.
3. Suasana publik sarat kepentingan politik jelang Pilkada dan Pilpres
Hendardi menilai, masyarakat mudah terpecah belah dengan isu penistaan agama. Apalagi nuansa yang terbangun saat ini adalah suasana kompetisi menjelang Pilkada 2018 dan Pilpres 2019.
"Dalam situasi sosial yang terbelah, isu semacam ini menjadi pemantik yang efektif untuk kembali membelah masyarakat. Apalagi di tengah kontestasi politik Pilkada 2018, Pileg dan Pilpres 2019. Politisasi dipastikan akan menguat," tutur dia.
4. Kasus Sukmawati momentum untuk mereformasi hukum penodaan agama dalam sistem hukum Indonesia
Demi mencegah isu yang beredar semakin meluas hingga menguras energi publik, Hendardi mengimbau, agar Sukmawati atau pun pihak keluarga segera memberikan klarifikasi.
"Keluarga Soekarno diharapkan bisa meredakan situasi, jika diperlukan Sukmawati juga bisa memberikan penjelasan. Sementara, atas pengaduan yang sudah disampaikan, secara prosedural biarkan polisi bekerja memproses laporan yang sudah masuk tanpa perlu tekanan yang sarat motif politiknya," kata Hendardi.
5. Pembahasan puisi Sukmawati ramai di media sosial
Nama Sukmawati Soekarnoputri ramai di media sosial, lantaran puisi berjudul Ibu Indonesia yang ia bacakan dalam acara 29 Tahun Anne Avantie Berkarya di Indonesia Fashion Week 2018 Kamis (29/3) lalu, dianggap menista Islam.
Dalam bait puisinya, Sukmawati menyinggung-nyinggung syariat Islam seperti azan dan cadar.
"Aku tak tahu syariat Islam. Yang ku tahu sari konde ibu Indonesia sangat lah indah. Lebih cantik dari cadar dirimu," demikian nukilan puisi Sukmawati.
Baca juga: Puisinya Dianggap Menodai Islam, Siapakah Sukmawati Soekarnoputri?
Baca Di berikut nya https://news.idntimes.com/indonesia/vanny-rahman/sukmawati-dipolisikan-akibat-puisi-peneliti-pertanyakan-hukum-penistaan-agama-1
No comments:
Post a Comment