Pakar transportasi, Azas Tigor Nainggolan, mengatakan, dengan adanya putusan MK ini, berarti ojek online tidak dilindungi payung hukum. Otomatis, hal itu merugikan para driver dan pengguna ojek online.
Menurut Tigor, secara perlindungan konsumen, ojek online juga sudah menyalahi aturan. Dia menambahkan, jika dibiarkan tentunya ini merugikan konsumen dan para driver ojek online.
"Kalau dilihat dari UU Perlindungan Konsumen ini juga melanggar karena tidak ada payung hukum dan landasan hukum ojek online," ungkapnya.
Tigor meminta pemerintah segera ambil langkah terkait putusan MK yang menolak melegalkan ojek online. Jika pemerintah tetap ingin ojek online memiliki payung hukum, sebaiknya dibuat regulasi bisa dalam PP atau Permen.
"Hukum itu dibuat untuk lindungi masyarakat kalau pemerintah tidak mau akui (ojek online) maka aplikatornya diputus, kalau mau mengakaui maka sebaiknya buat regulasinya," ungkapnya.
Kasus bermula saat pengojek online, Yudi Arianto, dan 16 rekannya menggugat UU LLAJ ke MK. Mereka merasa haknya tidak dijamin UU. Apalagi, merujuk pada taksi online, pengemudi taksi online dilindungi UU LLAJ.
Lantas apa kata MK?
"Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," demikian putus MK sebagaimana dikutip dari website MK, Kamis (28/6/2018).
(rvk/bag)
Baca Di berikut nya https://news.detik.com/berita/d-4089141/ojek-online-beroperasi-tanpa-payung-hukum-apa-imbasnya
No comments:
Post a Comment