Baiq Nuril adalah seorang pegawai honorer SMAN 7 Mataram, NTB, yang menjadi korban pelecehan seksual atasannya. Tapi, Mahkamah Agung (MA) justru menghukumnya enam bulan penjara dan denda 500 juta.
Nuril diputus bersalah karena dianggap menyebarkan informasi elektronik yang mengandung muatan kesusilaan, seperti diatur dalam Pasal 27 Ayat 1 Undang-Undang 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Putusan hukum “pasalistik” tersebut langsung memantik reaksi keras dari berbagai elemen masyarakat.
Putusan tersebut dianggap sangat tidak adil. Bahkan, berbagai elemen tergerak menggalang solidaritas untuk Nuril, laiknya kasus Prita Mulyasari. Negara dan institusi hukum yang seharusnya melindungi perempuan korban pelecehan seksual, justru dikriminalisasi. Putusan ini akan menjadi preseden buruk bagi para perempuan korban pelecehan seksual.
Mereka akan ketakutan “bersuara,” lantaran bisa dijerat hukum. Dalam konteks penegakan hukum, MA berhasil menegakan pasal, tapi gagal menegakan hukum dan keadilan. Indonesia adalah negara hukum. Membangun negara hukum yang berkeadilan adalah mandat konstitusi. Meski demikian, Satjipto Rahardjo (2009) menyatakan, membangun negara hukum bukanlah sekadar menancapkan papan nama.
Ini proyek raksasa yang menguras tenaga. Keberhasilan membangun negara hukum tidak semata‐mata diukur dari kemampuan memproduksi legislasi, pasal, undang-undang, dan menciptakan atau merevitalisasi institusi hukum.
Lebih dari itu, keberhasilan bernegara hukum terukur dari implementasi dan penegakan hukum yang mampu menciptakan keadilan bagi seluruh rakyat, terutama kelompok rentan dan marginal (miskin, perempuan, masyarakat adat, dan kelompok minoritas). Socrates menyatakan, esensi hukum itu keadilan.
Tidak ada hukum, tanpa keadilan. Hukum berfungsi melayani kebutuhan keadilan dalam masyarakat. Hukum menunjuk pada suatu aturan hidup sesuai dengan cita-cita hidup bersama: keadilan. Sedangkan Plato mengatakan, suatu tatanan sosial masyarakat akan terbangun jika muncul partisipasi semua orang dalam gagasan keadilan.
Keberadaan negara salah satu tugasnya mengahadirkan keadilan. Keadilan hukum, terutama bagi masyarakat miskin negeri ini seperti barang mewah, hanya dimiliki orangorang kuat dengan akses politik dan ekonomi. Sementara itu, masyarakat lemah atau miskin sangat sulit mendapat akses keadilan hukum.
Bahkan mereka kerapkali menjadi korban penegakan hukum yang tidak adil. Namun jika hukum menimpa elite kuasa politik dan ekonomi, hukum begitu tumpul dan dijadikan “mainan”. Sebaliknya, karena tak punya kuasa apa pun, kaum papa sangat mudah terjerat hukum dan dimasukkan penjara.
Secara sosiologis, praktik ketidakadilan hukum yang ditontonkan secara vulgar dalam kasus Nuril tersebut telah melahirkan merebaknya gejala apatisme. Kasus “main hakim” sendiri akhir-akhir ini, salah satu bentuk krisis dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum formal. Masyarakat sangat mudah mencari lembaga peradilan, tapi sulit menemukan keadilan.
Dalam bahasa lebih keras, Armada (2011:81), mengatakan ranah hukum kini terancam mendapat wajah baru: penindas! Betapa tidak, kasus-kasus sepele, yang menimpa kaum kecil dengan kerugian tidak seberapa, aparat penegak hukum begitu keras memperlakukan mereka. Orang kecil adalah satu dari sekian korban “keganasan” sistem hukum yang karut marut karena menghamba pada doktrin formalisme.
Bermasalah
Realitas penegakan hukum tersebut, semakin menunjukkan bahwa sistem dan praktik berhukum di sini sedang menghadapi masalah serius. Dampaknya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum jatuh. Satjipto Rahardjo (2009) menyebut situasi tersebut sebagai bentuk krisis sosial yang menimpa aparat penegak hukum.
Banyak kasus hukum kurang dapat dijelaskan dengan baik dan tidak disadari. Praktik- praktik penegakan hukum, meskipun secara formal telah mendapat legitimasi (yuridisformalistik), tidak secara moral dan sosial. Hukum positif negara ini juga disebut sebagai hukum modern. Hukum modern ini identik dengan hukum negara.
Sebelum muncul hukum modern, hukum diidentikan dengan keadilan, yang lahir, hidup, dan berkembang dalam sisitem sosial masyarakat. Keadilan diukur dengan standar nilai dan norma kemasyarakatan, bukan standar pasal-pasal dalam undang-undang yang sangat formalistik.
Tetapi keadilan dengan ukuran sosiologis tersebut tidak lagi muncul dan dijumpai, sejak kemunculan hukum modern. Sehingga hadirnya hukum modern telah “morobohkan pengadilan” sebagai tempat keadilan diberikan. Pengadilan menjadi rumah untuk menerapkan undangundang dan prosedur.
Hukum modern tidak menghadirkan keadilan substansial, tapi hanya keadilan formal (Rahardjo, 2010:67-68). Nihilnya keadilan hukum dalam masyarakat memperlihatkan ada masalah dalam praktik penegakan hukum di Indonesia. Dalam pandangan Ahmad Ali (2005), sistem hukum Indonesia sedang mengalami keterpurukan luar biasa.
Salah satunya tak lepas dari praktik hukum yang lebih mengedepankan pendekatan legalistik-positivistik. Pemahaman dan berhukum dari para aparat yang hanya berbasis pada peraturan tertulis alias pasalistik. Para aparat bukannya menegakkan hukum dan keadilan, tapi hanya menegakkan pasal.
Jika terbelenggu dengan pendekatan legalistik-positivistik tersebut, kita tidak akan pernah mampu menangkap hakikat kebenaran dan keadilan hukum. Seorang pengacara Amerika Serikat, Clarence Darrow (1857-1938) mengatakan, “Keadilan tidak ada kaitannya dengan apa kejadian di ruang sidang.
Keadilan datang dari luar ruang sidang pengadilan.” Keadilan di ruang sidang hanya bersifat formalistik, proseduralistik, serta berpotensi sarat manipulasi dan kolusi. Saatnya untuk menghadirkan keadilan yang lebih substantif berdasarkan hati nurani, bukan pasalpasal kaku (rigid). Jadilah yuris yang progresif dan responsif terhadap nurani keadilan masyarakat.
Umar Sholahudin, Dosen Sosiologi Hukum FH Unmuh Surabaya
Baca Di berikut nya http://www.koran-jakarta.com/praktik-penegakan-hukum/
No comments:
Post a Comment