KIBLAT.NET – La Nyalla Mattalitti menjadi orang yang kesekian membelok ke dalam lingkaran Jokowi. Sebelumnya, ada Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra yang bersedia menjadi pengacara Capres nomor urut 1, Jokowi-Ma’ruf.
Meski secara lisan Yusril berkelit bahwa menjadi lawyer bukan berarti pro Jokowi, tapi narasinya dalam menjatuhkan lawan politik Jokowi sudah membantah klaimnya sendiri. Selama ini, tokoh yang menyebrang ke Jokowi dianggap orang yang ‘islamis’. Pembelaannya kepada permasalahan yang dilanda umat Islam dan kritik tajamnya kepada pemerintah tak diragukan.
Yang lebih miris adalah ketika perpindahan halauan ini ternyata bukan karena mempertimbangkan kemashlahatan umat. Tapi hanya dendam pribadi, seperti La Nyalla. Mantan Ketum PSSI ini memalingkan dirinya dari Prabowo karena merasa dikecawakan saat Pilgub Jatim beberapa waktu lalu.
Meskipun kepemimpinan Prabowo belum teruji, tapi ia dengan senang hati mendukung rezim yang sudah dianggap berlaku tidak adil kepada masyarakat. Apakah suaranya itu hanya demi mendapatkan kewenangan atribusi yang jangka waktunya saja dibatasi? Bila iya, tentu kita patut merasa miris.
Maka, umat Islam perlu lebih selektif dalam mencari tokoh yang siap melakukan pembelaan. Sebab, bisa saja ia hanya mencari suara umat Islam, dan ketika suara tersebut tidak didapatkan maka ia akhirnya balik kanan.
Tak berlangsung lama pasca videonya yang mendukung Jokowi viral, La Nyalla blak-blakan soal pengakuannya yang menyebarkan isu bahwa Jokowi adalah PKI saat Pilpres 2014. Ia menyebutkan sudah memberikan permintaan maaf kepada Presiden Jokowi secara langsung.
Seharusnya, Kepolisian melakukan penindakan hukum kepada La Nyalla atas pengakuannya tersebut. Karena pengakuan ini seperti umpan lambung kepada Kepolisian, tanpa harus susah payah ‘bergerilya’ di sosmed dan memeriksa orang-orang tertentu.
Menurut hemat penulis, La Nyalla dapat disangkakan dengan pasal yang sama dengan Ratna Sarumpaet. Yaitu Pasal 14 ayat 1 tahun 1946. Pasal tersebut berbunyi: Barangsiapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.
Selain itu, dengan pengakuan tersebut La Nyalla bisa dijerat dengan pasal 15 ayat 1 tahun 1946. Pasal itu berbunyi: Barangsiapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga bahwa kabar demikian akan atau sudah dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi, tingginya dua tahun.
Polisi seharusnya bisa menindak La Nyalla seperti mereka ketika menindak Ratna Sarumpaet. Sebab, Ratna mengaku telah menyebarkan berita bohong dan siap mempertanggungjawabkannya. Akhirnya, Ratna ditetapkan sebagai tersangka.
Pasca pengakuan La Nyalla, orang-orang Projo diam seribu bahasa. Biasanya, mereka sangat beringas ketika junjungannya dihina. Tapi ketika pengakuan ini muncul, mereka pulas. Seperti kampret di siang hari.
Namun, yang paling penting adalah kesadaran polisi untuk menindak La Nyalla. Karena kasus yang sama juga menimpa penulis buku Jokowi Undercover, Bambang Tri Mulyono dan JD (27), admin dan pemilik akun Instagram @sr23_official yang menyebut Jokowi PKI.
Polisi seharusnya sudah semakin jeli melihat gejolak di masyarakat. Jangan sampai ketidakadilan semakin masif dipertontonkan. Karena ini akan membuat spekulasi bahwa hukum tumpul di lingkaran kekuasaan semakin menguat. Akankah hukum menyala kepada La Nyalla?
Penulis: Taufiq Ishaq
Baca Di berikut nya https://www.kiblat.net/2018/12/15/akankah-hukum-menyala-kepada-la-nyalla/
No comments:
Post a Comment