INFO NASIONAL - Isu maupun kesalahpahaman serta informasi yang simpang siur kerap menjadi pemicu utama dalam terjadinya konflik. Kesalahpahaman karena disinformasi ini pun menjadi isu penting dalam bidang pertanahan. Terlebih, sekarang sedang gencarnya pembangunan infrastruktur yang tentunya perlu lahan tanah. Yang perlu dicermati, kurangnya informasi akan status dan dasar hukum, khususnya terkait Grondkaart, tidak hanya terjadi di masyarakat umum. Hal ini bahkan ditemukan dalam wilayah kerja pejabat pertanahan dan instansi-instansi pemerintah lainnya.
Hal ini terimplikasi dari ditemukannya akta tanah Sertifikat Hak Milik (SHM) yang dikeluarkan di atas tanah pemerintah yang hak kepemilikan dan pengelolaannya ada pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang pada beberapa kasus Sertifikat Hak Milik (SHM) tersebut berhasil dibatalkan dan dicabut melalui putusan pengadilan yang berkuatan hukum tetap. Persepsi hukum tentang kepemilikan tanah, khususnya yang merupakan peralihan dari jaman Belanda dan hanya memiliki bukti kepemilikan Grondkaart, masih belum seragam. Hal ini membuat rawan terjadi kesalahpahaman yang bisa berpotensi merugikan baik masyarakat maupun pemerintah sendiri.
Terkait problematika ini, terungkap beberapa insight dalam diskusi Ngobrol@Tempo dengan tema “Keabsahan Grondkaart di Mata Hukum” pada Kamis, 6 Desember 2018, di Ballroom Singosari, Hotel Borobudur, Jakarta. Diskusi ini digagas untuk memberikan ruang bagi para pengambil keputusan dan berbagai pihak terkait untuk berbincang, mengetahui sudut pandang satu sama lain akan situasi yang ada untuk bersama mencari solusi.
Dipimpin moderator Redaktur Ekonomi Tempo Media, Ali Nuryasin, hadir sebagai narasumber Prof. Djoko Marihandono, Ahli Sejarah dan Dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, kemudian Dr. Iing R.Sodikin Arifin, Tenaga Ahli Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, dan Dr. Suradi selaku Kepala Sub Unit II Sub Direktorat II Tindak Pidana Umum Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Diskusi yang didukung PT Kereta Api Indonesia (Persero) ini dihadiri peserta dari Daerah Operasi (DAOP) dan Divisi Regional (Divre) PT Kereta Api Indonesia (Persero) seluruh Indonesia, pewakilan Perhutani, sejumlah BPN daerah, KPK, BPK, Polda, ANRI, perwakilan dari sejumlah BUMN yang lahannya banyak memakai Grondkaart sebagai bukti kepemilikannya dan media.
Dasar hukum Grondkaart sendiri ada pada Staatsblad van Nederlandsch Indie Tahun 1890 No 55 tentang Agrarische Wet dan No 118 tentang Agrarische Besluit. Menurut Prof. Djoko Marihandono, pemahaman akan Grondkaart harus dimasukkan dalam konteks jamannya. “Bukan dengan interpretasi Undang-Undang saat ini,” ujarnya. Grondkaart, lanjutnya, tentunya dilengkapi dengan arsip pendukungnya. “Grondkaart hanya dimiliki oleh institusi dan merupakan bagian dari informasi aset yang dimiliki pemerintah,” katanya.
Dr. Iing R.Sodikin Arifin mengungkapkan bila Grondkaart adalah petunjuk bahwa tanah tersebut ada yang memiliki. “Grondkaart dapat dikonversi statusnya menjadi sertifikat sehingga secara yuridis dapat dikodifikasi sesuai kepemilikan dan penggunaan dari tanah tersebut,” ujarnya. Sementara Dr. Suradi yang juga merupakan anggota dari Satgas Mafia Tanah menegaskan, bila aset tanah milik negara harus dijaga dan diselamatkan dari penyerobotan dan penguasaan yang ilegal. “Saat ini, Grondkaart merupakan alat bukti yang digunakan penegakan hukum sebagai alas hak bukti kepemilikan,” ujarnya. (*)
Baca Di berikut nya https://nasional.tempo.co/read/1153214/menelisik-keabsahan-grondkaart-di-mata-hukum
No comments:
Post a Comment