JAKARTA, KOMPAS.com - Kuasa hukum Abu Bakar Ba'asyir, Muhammad Mahendradatta, menyerahkan kepada penasehat hukum pribadi Presiden Joko Widodo, Yusril Ihza Mahendra, terkait landasan hukum dalam pembebasan Ba'asyir.
Sebelumnya, Presiden Jokowi menyetujui pembebasan tanpa syarat untuk terpidana kasus terorisme Abu Bakar Ba'asyir, dengan alasan kemanusiaan dan faktor kesehatan.
Ketika ditanya apakah pembebasan itu dikategorikan sebagai pembebasan murni atau pembebasan bersyarat, Mahendradatta mengutip apa yang disampaikan Yusril.
"Katanya Yusril, itu tanpa syarat, unconditional release," ujar Mahendradatta saat ditemui di Kantor Law Office of Mahendradatta, di Jakarta Selatan, Senin (21/1/2019).
Baca juga: Presiden Jokowi Panggil Wiranto dan Yasonna ke Istana, Bahas Pembebasan Baasyir?
Ditanya lebih lanjut, apa landasan hukum yang menjadi dasar pemberian pembebasan tersebut, ia kembali melemparnya kepada Yusril.
"Tidak tahu, itu tanya Yusril, mekanisme hukum ada pada Yusril," jelasnya.
Baca juga: Pakar Hukum: Pembebasan Abu Bakar Baasyir Tak Berlandaskan Hukum
Mahendradatta mengatakan bahwa pihak kuasa hukum hanya tahu bahwa Ba'asyir akan dibebaskan pada minggu ini, sesuai janji Yusril.
Terkait hari Ba'asyir akan dibebaskan, tim kuasa hukum telah mengusulkan untuk dilakukan pada Rabu besok.
Pembebasan Ba'asyir sebelumnya mendapat kritik dari sejumlah pengamat dan pakar.
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan, Indonesia tidak mengenal pembebasan tanpa syarat seperti yang dilakukan pemerintah terhadap Ba'asyir saat ini.
Meski tidak mengenal pembebasan tanpa syarat, Fickar mengatakan, Indonesia memiliki grasi.
"Menurut saya, hal ini (pembebasan tanpa syarat) hanya bisa terjadi di negara kerajaan sebagai pengampunan dari raja (di negara demokrasi namanya grasi)," kata Fickar saat dihubungi Kompas.com, Senin (21/1/2019).
Baca juga: Cerita Yusril di Balik Keputusan Presiden Jokowi Bebaskan Abubakar Baasyir
Namun, dalam konteks pembebasan Ba'asyir, hal itu bukanlah grasi karena tidak ada permintaan dari Ba'asyir.
Hal itu bukan pula pembebasan bersyarat karena Ba'asyir menolak menandatangani surat taat pada Pancasila, yang menggugurkan haknya atas pembebasan bersyarat.
Oleh karena itu, ia berpandangan, pembebasan yang diberikan Presiden Jokowi kepada Ba'asyir tidak memiliki landasan hukum.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) juga mempertanyakan skema pembebasan yang diberikan Presiden Jokowi kepada Ba'asyir.
Direktur Eksekutif ICJR Anggara Suwahju mempertanyakan pembebasan tersebut karena dinilai bukan merupakan pembebasan bersyarat atau grasi.
Selain mendapat kritik dari dalam negeri, pembebasan ini juga diprotes oleh Australia.
Abu Bakar Baasyir divonis 15 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) pada 2011. Putusan itu tak berubah hingga tingkat kasasi.
Ba'asyir yang merupakan pimpinan dan pengasuh Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki, Sukoharjo, Jateng, itu terbukti secara sah dan meyakinkan menggerakkan orang lain dalam penggunaan dana untuk melakukan tindak pidana terorisme.
Baca Di berikut nya https://nasional.kompas.com/read/2019/01/21/15513031/kuasa-hukum-tak-tahu-landasan-hukum-pembebasan-abu-bakar-baasyir
No comments:
Post a Comment