Sidang untuk mendengarkan pernyataan Suu Kyi rencananya digelar pada 10 sampai 12 Desember. Penyelidik dari PBB menyebut ada indikasi genosida, tetapi Myanmar berkeras menyebut operasi militer yang dilakukan adalah untuk memburu kelompok militan di kalangan etnis Rohingya.
Di Myanmar, dukungan terhadap Suu Kyi terlihat di sudut-sudut jalan, dari mulai poster hingga papan reklame. Salah satunya berisi tulisan, 'We Stand You' yang memajang gambar Suu Kyi dan sejumlah jenderal Myanmar, dan aneka dukungan lain yang ditujukan untuk mendukung dia di hadapan Pengadilan Internasional, baik dalam bahasa Inggris maupun Myanmar.
Bahkan, ada sekelompok tur yang akan merencanakan perjalanan VIP ke Den Haag untuk mendukung Suu Kyi yang akan menyampaikan keterangan di pengadilan internasional.
Win Swe, salah satu warga Naypyidaw yang ikut dalam aksi tersebut mengaku dirinya mendukung Suu Kyi untuk menghadapi Mahkamah Internasional di Belanda.
"Mereka bukan hanya sedang menuduh satu orang di Myanmar, mereka juga telah menuduh seluruh negara ini," kata Win Swe yang menggunakan kaos dengan corak dukungan terhadap Suu Kyi.
Di luar aksi massa itu, seperti dilansir AFP, para pengamat terbelah mengenai sikap Suu Kyi saat ini. Suu Kyi yang semula sangat menentang terhadap junta militer, tetapi ketika berada di lingkar kekuasaan justru mempertahankan tindakan militer.
"Ada lebih banyak negosiasi, dan memberi serta menerima, antara pemerintah [Myanmar] dan militer," ujar analis politik Myanmar, Maung Maung Soe, seperti dilansir AFP.
Menurut pengamat lainnya, langkah Suu Kyi itu tak lepas dari rencana pemilu Myanmar yang digelar tahun depan. Pada pemilu sebelumnya, partai yang dipimpin Suu Kyi, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), berhasil keluar sebagai pemenang umum.
"Mayoritas partai-partai politik memperkirakan (NLD) akan mengambil untung demi pemilu," ujar Khin Yi, tokoh oposisi dari partai USDP.
Sementara itu sejarawan Myanmar, Thant Myint U, menepis anggapan langkah Suu Kyi hanya bersifat politis. Menurutnya, Suu Kyi ingin menjelaskan dengan sebenar-benarnya perisiwa yang ditudingkan sebagai genosida di Myanmar.
"Saya pikir dia benar-benar merasakan kemarahan besar pada apa yang dia lihat sebagai tanggapan tidak adil dari dunia luar. Saya pikir dia benar-benar ingin benar-benar menjalani hari-harinya di pengadilan dan membuat argumen ini," kata Myint U di Bangkok, Thailand.
"Saya pikir dia benar-benar percaya bahwa tidak ada yang lebih baik untuk mewakili negara," tambahnya.
Senada pula diutarakan Aye Lwin dari Pusat Studi Islam di Yangon. Menurutnya, "Ini bukan tentang menang atau alah. Ini tentang menjelaskan kebenaran dan meluruskan sebuah ketidakadilan.
Myanmar terus menjadi sorotan dunia setelah krisis kemanusiaan yang menargetkan etnis Rohingya dan minoritas Muslim lainnya di Rakhine kembali memburuk pada pertengahan 2017 lalu.
Krisis kemanusiaan itu dipicu oleh operasi militer Myanmar yang ingin meringkus kelompok teroris pelaku penyerangan sejumlah pos keamanan di Rakhine.
Alih-alih menangkap teroris, militer Myanmar disebut malah mengusir, membunuh, hingga memperkosa warga Rohingya di Rakhine. Sejak itu, gelombang pengungsi Rohingya ke perbatasan Bangladesh terus meningkat.
Ketua misi pencari fakta PBB di Myanmar, Marzuki Darusman, memperingatkan bahwa "ada risiko serius genosida berulang" di Rakhine pada Oktober lalu. Laporan terbarunya pada September lalu juga memaparkan bahwa Myanmar bertanggung jawab dalam forum hukum internasional atas dugaan genosida. (kid/ayp)
No comments:
Post a Comment