Angin pantai tak henti mendesir. Rona jingga menyepuh lembut daun nyiur. Melambai meronggeng mengikuti hembusan bayu. Di bawah mereka para turis merebah di bibir pantai Batu Belig. Syahdu. Beda dari pengar macet lalu lintas Jalan Kayu Aya, jalur arteri di Seminyak tak jauh dari sana.
Warna senja pun menguningkan pasir putih. Laksana panen padi di Jatiluwih, Ubud, yang saya tengok kemarin. Sementara itu burung dara laut sesekali turun merendah. Sebagian camar mampir di dapur terbuka resto sepanjang Pantai Seminyak, mencari sisa makanan.
Senja boleh jadi adalah permai tanpa batas. Rahim keindahan yang kerap mewujud syair dan puisi para pujangga. Membuat seorang novelis fiksi fantasi AS, George RR Martin menyebut 'jika matahari terbenam, tak satupun lilin bisa menggantikannya'. Namun bagi saya, cukup senja membuat khilaf: cuti saya tinggal tersisa 24 jam!Hari itu adalah hari ke-5 liburan kami sekeluarga di Pulau Bali. Hampir sepekan menggandeng seorang istri cantik, mengepit anak umur empat tahun berlibur jauh dari ibu kota nan sibuk. Bagi putra kami, ini kali perdana terbang naik pesawat. Begitu senangnya sejak di bandara.
Sejumlah lokasi wisata ramah anak kami sambangi. Dari Pantai Lumba-lumba Lovina di Utara, Danau Batur di Timur, hingga Taman Budaya Garuda Wisnu Kencana.
Rerupa ritus adat leluhur tak luput: ritual Majaraja di Pura Ulun Danu Beratan hingga Tari Kecak di Uluwatu. Sehari sebelum ke Canggu, kami pun berada di tengah keriangan petani Jatiluwih yang masuk musim panen.
Maka tak berlebihan kami ingin tutup perjalanan panjang di Bali dengan berburu Senja di Canggu. Pantai Batu Belig memang jadi satu alternatif ketika para pelancong mulai bosan cakrawala di bumantara Jimbaran.
Situs perjalanan wisata Big 7 Travel bahkan menempatkan Pantai Seminyak sebagai pantai ke-25 terbaik di dunia pada tahun ini. Seminyak naik pamor berkat perubahan warna yang nyaris tanpa gradasi, dari pirus menjadi biru tua hanya dalam 10-20 meter menuju lepas laut.
Satu hal, di lokasi ini, banyak resto, rumah makan, hingga warung tenda kaki lima di daerah yang berjarak 20 kilometer dari Bandara Ngurah Rai. Kami pilih salah satu beach club yang tengah naik daun dan direkomendasikan seorang kawan blogger sejak di Jakarta: Cafe del Mar Bali.
Kafe ala Mediterania
Beach club ini terbilang ramah anak, sehingga menjadi satu alasan saya berkunjung bersama keluarga. Kolam renangnya juga membuat anak saya langsung melepas baju begitu datang.
Kesan pertama, beach club yang berdiri sejak Agustus 2019 ini pun punya aksen unik, tersendiri di antara banyak resto Canggu. Nuansa putih seolah membawa nuansa tebing Desa Karterados, Santorini--balkon serba putih di Laut Aegea Yunani.
Beribu kandung di Ibiza, Spanyol, beach club ini banyak mengadopsi keagungan mediterania, baik dari segi fasad bangunan hingga kuliner andalan.
Arsitektur Beach Club yang baru beroperasi medio November 2019 ini disebut-sebut menginduk bentuk Cafe Del Mar di Sant Antoni de Portmany, kepulauan Ibiza, Spanyol. Cafe Del Mar memang memulai debutnya sebagai sunset bar sejak 1980 di lepas pantai Belearik.
Keberadaannya di Bali--sebagai resto kedua di Asia Tenggara setelah Pantai Phuket--menjadi magnet para turis. Para tamu datang karena tempat ini menjual cumbuan senja di area yang lebih privat.
Saya berkesempatan menyelinap ke tiap sudut. Pengunjung dapat mereguk panorama Samudra Hindia di rerupa zona: restoran, sun lounger, day bed, kabana, luxury pool booth hingga sunset booth.
Butuh merogoh kocek mulai dari Rp2 hingga Rp20 juta untuk satu pilihan tempat itu.
Kami pun datang saat musik ikonik chill house terus diputar dari panggung megah di selatan area seluas 700 meter persegi ini. Penampilan DJ seolah menegaskan adanya persaingan baru beach club di Bali setelah beroperasinya Omnia.
Sajian musik boleh jadi memang pertaruhan tiap-tiap beach club di Bali. Cafe Del Mar sendiri merupakan label musik chill house terkemuka di dunia. Tempat kelahiran salah satu seri kompilasi musik yang paling lama eksis dalam sejarah.
Musik dj--yang secara pribadi bagi saya asing--bahkan mengalihkan perhatian ketika satu menu pesanan saya datang: White Fish Barramundi.
White Fish Barramundi. (CNNIndonesia/Angga Indrawan)
|
Dipanggang bersama asparagus. Barramundi merupakan ikan dalam garis keluarga kakap putih, namun diklaim memiliki kandungan gizi paling tinggi.
Meski sajian terlihat asing di depan mata, namun sejumlah menu ini tetap mengandalkan rempah asli Indonesia. Inovasi seperti jadi kata kunci bagaimana sebuah tampilan Mediterania tetap akrab di lidah pedas manis warga lokal.
Bahkan dalam salah satu dessert populer di resto itu: Bubur Ingin, sepiring panna cota berbahan dasar beras hitam yang tumbuh di sawah Indonesia.
Chef Wynn, salah satu pimpinan restoran yang saya temui di sana, menyebut inovasi tak henti akan melahirkan rasa dan sajian yang inspiratif.
Lagipula, dengan keberadaannya yang terbilang seumur jagung, tamu lokal masih mendominasi 70 persen reservasi di sunset bar dan resto ini.
Bagi mereka yang akrab dengan alkohol, wine berkelas juga tak absen dengan penuh ragam cita rasa. Mulai dari wine impor hingga dalam negeri yang sudah dikurasi sedemikian rupa. Bagi saya dan istri, cukup jus buah. Anak saya bisa tetap berbahagia dengan gelato yang ia reguk di pinggir kolam renang.
Giliran malam beranjak. Musik chill house tetap digeber, tarian api baru saja pungkas dari panggung di atap resto di tengah kolam renang. Anak saya baru saja berbilas. Kami hendak pulang dengan merekam sejuta kenangan dari Canggu.
Sebelum benar-benar kembali ke penginapan untuk berkemas, kami sempatkan memborong banyak ikan mentah, kepiting, hingga kerang dan lobster di Pasar Kedonganan, Jimbaran.
Dari belanjaan pasar itulah kami kemudian menggunakan jasa goreng dan bakar di restoran-restoran di Jimbaran. Apa keuntungannya? suatu hari saya akan bercerita di lain artikel.
(ain/ard)
No comments:
Post a Comment