Sunday, December 15, 2019

Pengamat Akui Ada Celah 'Mark Up' Harga Airbus Pesanan Garuda

Jakarta, CNN Indonesia -- Pengamat penerbangan mengakui memang ada celah untuk menaikkan harga (mark up) dalam proses pemesanan pesawat. Celah ini bisa dilakukan oleh direksi maupun pihak-pihak yang berpengaruh di perusahaan.

Pernyataan ini disampaikan Pengamat Penerbangan Gatot Raharjo merespons tuduhan mark up pesawat pesanan jenis Airbus A330-300 yang dialamatkan akun anonim kepada Tommy Tampatty pada 1988-1992 silam, Ketua Serikat Karyawan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk atawa Sekarga.

Lebih lanjut ia menjelaskan perusahaan maskapai penerbangan pada umumnya tidak membeli pesawat secara langsung kepada produsen atau pabrik. Melainkan melalui skema beli sewa atau lease purchase. Ini artinya, maskapai harus membayar cicilan dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian.

Setelah lunas, pesawat itu baru akan menjadi hak milik maskapai. Dengan kata lain, sistemnya hampir serupa dengan 'membeli secara mencicil'. Hanya saja, status pesawat disebut 'sewa' selama cicilan belum lunas.

Namun, maskapai juga bisa memesan pesawat lewat pabrik, seperti Airbus atau Boeing. Nantinya, pabrik itu yang akan mencari perusahaan leasing untuk proses sewa beli dan berhubungan dengan maskapai.

Maskapai juga bisa terima beres dari pihak pabrik selama proses pemesanan pesawat. Disinilah, tindakan mark up berpeluang dilakukan antara maskapai dengan pabrik atau perusahaan leasing.

"Bisa antara leasing, bisa juga langsung ke pabriknya. Misalnya, satu pesawat harga Rp1 triliun dari pabrik, terus maskapai minta dinaikkan menjadi Rp1,2 triliun. Lalu, Rp1,2 triliun itu masuk ke leasing dan dicicil oleh maskapai," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, dikutip Senin (16/12).

Upaya mark up, sambung Gatot, tak selalu berawal dari maskapai. Ia mengklaim tindakan mark up bisa saja ide dari kedua belah pihak, baik pabrik dan maskapai.

Sebagai contoh, pihak dari pabrik tak melakukan pendekatan dengan salah satu oknum di maskapai untuk membeli pesawat dan onderdil. Nantinya, ada komisi yang diberikan dari produsen pesawat kepasa pihak maskapai.

"Komisi bisa dimasukkan ke harga jual, jadi mark up atau diberikan langsung ke oknum (di maskapai) itu. Jadi banyak cara," terang Gatot.

Di sisi lain, Pengamat Penerbangan Alvin Lie menilai potensi mark up pemesanan pesawat antara pihak produsen, seperti Boeing dan Airbus, dengan maskapai penerbangan hampir tidak mungkin. Hal ini dikarenakan produsen memiliki aturan ketat soal suap menyuap.

"Airbus terikat peraturan perundangan anti suap atau korupsi di Eropa. Boeing juga terikat perundangan serupa di AS. Mereka tidak akan berani menyuap atau lakukan transaksi keuangan yg ilegal," kata Alvin.
[Gambas:Video CNN]
Menurutnya, tindakan mark up pemesanan pesawat berpeluang terjadi antara perusahaan leasing non Eropa dan AS dengan pihak maskapai. Hanya saja, Alvin menyebut tindakan itu sulit dilacak.

"Kesepakatan sulit dilacak. Perusahaan leasing yang beli dari produsen kemudian disewakan kepada maskapai," ucap Alvin.

Sebelumnya, akun Twitter @digeeembok menuding Ketua Harian Sekarga Tomy Tampatty melakukan tindakan mark up harga pemesanan pesawat Airbus A330-300. Menurut akun tersebut, harga pesawat tersebut dibeli Garuda Indonesia US$214 juta per unit.

Garuda sendiri memesan enam unit yang berarti perusahaan menggelontorkan dana sebesar US$1,2 miliar. "Padahal, pada 2003, harga Airbus A330-300 adalah US$140 juta," tulis pemilik akun @digeeembok.

Ketika dikonfirmasi, Tommy menyatakan seluruh informasi yang ditulis akun tersebut tidak benar. Ia mengaku masih menjadi pegawai honorer pada 1988 dan baru menjadi calon pegawai pada 1992.

"Saya baru bergabung di Sekarga itu sekitar 2007. Saya harap tidak mempercayai situs tersebut (akun Twitter @digeeembok)," pungkas dia.


(aud/bir)

Let's block ads! (Why?)

No comments:

Post a Comment