Pasalnya, menurut Andreas perkara penghapusan UN sebenarnya sudah jadi perdebatan lama, dan hingga kini belum menemui titik terang yang lebih baik.
"Ini harus betul-betul gamblang. Jadi enggak bisa ujuk-ujuk berhenti, ada nanti model yang hampir sama. Masyarakat nanti juga bilangnya, 'ya itu mah ujung-ujungnya sama saja. Ganti menteri ganti kebijakan'. Intinya sama," ujar Andreas kepada CNNIndonesia.com, Rabu (11/12).
Andreas mengatakan polemik ujian nasional sebagai penentu akhir di masa sekolah kerap kali menuai pro-kontra dari sejumlah pihak, terutama pelajar dan orang tua murid. Pihak dari sekolah dan kementerian kebanyakan condong menginginkan UN tetap dilaksanakan. Salah satu dalihnya adalah perkara motivasi belajar siswa. Namun selama UN terus dijalankan, sistem pelaksanaannya dinilai tak lebih baik dan tidak memberi dampak positif.
"Sementara itu dipaksakan terus, tapi toh enggak ada perubahan. Tidak ada perubahan yang lebih baik. Justru cenderung nilainya selama ini kan dikatrol. Setiap daerah dengan tingkat katrolan yang berbeda-beda. Kalau menurut kami justru menjerumuskan peserta didik kita, kalau memang prakteknya seperti itu," ujar Andreas.
Ia mengatakan wacana Nadiem menghapus UN sejatinya sangat berani. Namun, sambung Andreas, Nadiem perlu memikirkan dengan serius penggantinya, karena UN tidak bisa begitu saja dihapus.
"Cuma ini harus betul-betul dipikirkan penggantinya apa. Solusinya bagaimana, dan ke depannya harus bagaimana. Karena kekhawatiran orang tua, guru, kepala sekolah sebagian besar takut anaknya enggak mau belajar. Ini harus cari terobosan bagaimana tanpa UN tapi minat belajar peserta didik tetap," tutur Andreas.
Nadiem juga dikatakan perlu memerhatikan standar kelulusan bagi siswa di sekolah andai UN benar-benar dihapus. Pasalnya, menurut Andreas sekolah belum berani menyatakan standar kelulusan siswa sendiri.
"Apalagi zaman sekarang. Kalau peserta didik tidak naik orang tua bisa komplain mengadukan. Kalau guru salah ngomong bisa dilaporkan oleh orang tua. Keberanian dengan cara yang terukur yang menyatakan naik atau tidak naik itu harus punya," tambah Andreas.
Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Guru Indonesia (IGI) Muhammad Ramli Rahim juga sependapat dengan wacana Nadiem menghapus UN. Ia mengatakan UN saat ini tidak lagi jadi acuan pencapaian pembelajaran anak, tapi hanya mencari nilai tertinggi.
"Anak-anak kita bukan lagi belajar bagaimana mengembangkan kemampuannya sesuai dengan minat dan bakat mereka, bukan lagi bagaimana mengembangkan kemampuan daya nalar mereka, bukan pula bagaimana mereka mampu menguasai teori-teori dasar," tutur Ramli dalam keterangannya kepada wartawan.
Rencana peniadaan UN itu disampaikan Nadiem saat hadir dalam dalam rapat koordinasi bersama Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota se-Indonesia di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Rabu (11/12). Nadiem menyatakan peniadaan UN itu akan dilakukan mulai 2021, dan bakal diganti dengan Asesmen Kompetensi Minimun dan Survei Karakter.
Pertimbangan dari wacana ini, dikatakan Nadiem, karena UN punya banyak masalah. Beberapa di antaranya UN dianggap terlalu padat materi, sehingga murid hanya fokus menghafal. UN juga disebut banyak membuat murid stres.
Siswa mengerjakan soal Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) di SMK Pariwisata Dalung, Badung, Bali, 25 Maret 2019. (ANTARA FOTO/Fikri Yusuf)
|
Reaksi Guru dan Siswa atas UN
Selain dari kalangan pengamat pendidikan, wacana yang disampaikan Nadiem itu mengundang reaksi beragam baik dari pelajar dan praktisi pendidikan atau guru.
Saryanti yang merupakan Kepala SMAN 25 Jakarta itu secara pribadi mengaku ada yang patut dipertimbangkan sebelum kebijakan penghapusan UN itu diterapkan yakni soal standarisasi pencapaian siswa.
"Kalau dari sisi kami pelaksana pendidikan di sekolah, sebenarnya kalau nggak ada UN nanti standar [lulus]nya akan seperti apa? Pasti kualitas lulus di sekolah itu beda-beda. Nilai 8 di sekolah ini pasti berbeda dengan sekolah lain," ujar Saryanti kepada CNNIndonesia.com, Rabu (11/12).
Berdasarkan pengalamannya sebagai guru, Saryanti menilai kendala stres yang dialami murid bukan karena UN secara spesifik. Menurutnya yang jadi masalah justru pada waktu pelaksanaannya.
"Januari sudah try out (simulasi UN), Februari ujian praktik, 30 Maret sudah UN. Materi semester 6 yang harusnya selesai di Juni harus selesai di Januari. Itu kenapa mereka stres. Gurunya juga ikut stres," tutur Saryanti.
Pendapat serupa dikatakan Nur Naningsih yang berprofesi sebagai guru pelajaran IPA di SMP Negeri 60 Jakarta. Walaupun menyambut baik wacana Nadiem, namun Nur mengingatkan penghapusan UN pun bisa berdampak negatif. Salah satunya, kata dia, adalah murid bisa jadi kehilangan motivasi belajar tanpa keberadaan ujian akhir.
"Minusnya kalau tidak ada UN anak menganggap, nggak UN ini ngapain belajar. Dampaknya semakin malas. Karena kita di lapangan ini sangat sulit menghadapi anak sekarang. Mulai dari etika, cueknya, senangnya mereka ngerumpi," ujar Nur.
Nur menyebut sekolah tempatnya mengajar sebagai contoh. Murid-murid di sekolahnya kebanyakan datang dari keluarga ekonomi menengah ke bawah. Tak bisa dipungkiri, sambungnya, tak banyak dari muridnya yang paham betul pentingnya belajar.
"Dalam satu kelas paling berapa persen anak yang ada kemauan belajar. Yang lain [sekolah] hanya pertemuan saja, untuk bermain, curhat," ujarnya.
Pelajar mengikuti Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) di SMA Negeri 3 Jakarta, Senin, 10 April 2017. (CNN Indonesia/Safir Makki)
|
"Kalau menurut saya, UN itu kan hanya nama saja yang diganti. Dulu ada EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional). produknya sama saja," kata Nur.
Perkara kurikulum menurut Nur bisa dijadikan contoh terkait hal ini. Sebagai guru ia mengaku pusing dengan kurikulum yang tiap berapa tahun berganti bersamaan dengan pergantian Mendikbud.
"Kita lihat di luar negeri paling sedikit 10 tahun uji coba kurikulum. Kita belum selesai sudah yang baru lagi. Kapan ngujinya? Kita guru juga kebingungan. Kalau yang di atas sih bisa saja mau buat apa. Kita yang bingung," tambah Nur.
Kendati menurutnya masih dibutuhkan, Nur tak bisa menampik bahwa sistem UN yang dijalani saat ini memberi tekanan tersendiri untuk murid.
Secara terpisah, salah seorang murid di SMKN 2 Jakarta menceritakan pengalamannya ketika menjalani ujian nasional setahun lalu. Siswa yang kini duduk di kelas X SMK itu mengaku ia dan kawan-kawan kala itu sudah mulai mencicil belajar materi untuk UN sejak masuk kelas IX SMP.
"Cari-cari buku buat UN, tentang mata pelajarannya kelas satu sampai tiga. Itu dicoba semuanya. Dari materi kelas satu dikerjain, takut keluar. Padahal yang keluar nanti cuma sedikit, kan ngeselinnya di situ," ujar Farhan jengkel.
Meski pada akhirnya ia mengaku semua materi yang keluar saat UN sudah mantap ia pelajari, rasa gugup dan takut tak bisa ia hindari.
Nazwa, murid kelas 10 dari SMA Negeri 25 Jakarta juga mengatakan hal serupa. Ia mengenang betapa padat jadwal belajarnya ketika masih duduk di kelas 9 SMP dan akan menjalani UN.
"Beli buku banyak banget, belajarin satu-satu. Les juga bimbel (bimbingan belajar) di luar sekolah. Dari kelas sembilan semester satu sudah belajar. Kekejar sih cuma capek aja kurang istirahat. Full belajar terus," curhat Nazwa.
Soal Ujian Nasional, dalam Rakor bersama disdik se-Indonesia tersebut kemarin, Nadiem mengatakan pada 2020 mendatang tetap dilaksanakan. Dan, sambungnya, baru dihapus guna diganti denan Asesmen Kompetisi Minimun dan Survei Karakter per 2021. Menurut Nadiem lewat pengubahan sistem UN menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter itu justru lebih membuat sekolah lebih tertantang.
"Enggak sama sekali [membuat siswa lembek], karena UN itu diganti asesmen kompetensi di 2021. Malah lebih men-challenge sebenarnya," kata Nadiem di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (11/12) petang.
Nadiem menyebut usai sistem ujian baru ini diterapkan, pihak sekolah harus mulai menerapkan pembelajaran yang sesungguhnya, bukan sekedar penghafalan semata. Menurutnya, kebijakan penghapusan UN akan dimulai pada 2021. Nadiem menjelaskan pengganti UN yakni asesmen kompetensi dan survei karakter tak berdasarkan mata pelajaran. Tes tersebut hanya berdasarkan pada literasi (bahasa), numerasi (matematika), dan karakter.Sementara itu di kompleks yang sama, Menko PMK Muhadjir Effendy mengatakan pelaksanaan UN memang harus dievaluasi. Namun, sambungnya, yang disampaikan Nadiem ke dirinya bukanlah penghapusan melainkan modifikasi.
"Yang disampaikan ke saya bukan dihapus, dimodifikasi dan memang harus dievaluasi kan," kata Muhadjir yang juga mantan Mendikbud tersebut.
[Gambas:Video CNN]
Muhadjir lantas menjelaskan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional terdapat tahapan evaluasi dalam proses belajar. Ia menyebut pihak yang bisa mengevaluasi antara lain guru, satuan pendidikan, dan pemerintah.
"Ujian nasional itu adalah evaluasi yang dilakukan oleh negara," tuturnya.
Muhadjir menganggap wajar kritik yang disampaikan terkait keputusan Nadiem menghapus pelaksanaan UN dan menggantinya dengan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter. Menurutnya, kritik itu bentuk kepedulian masyarakat terhadap pendidikan.
No comments:
Post a Comment