Jakarta, Gatra.com - Tim kuasa hukum terdakwa Syafruddn Arsyad Temenggung (SAT) menilai bahwa kasus dugaan korupsi pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang didakwakan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada kliennya adalah error in persona.
Hasbullah, salah satu kuasa hukum terdakwa Syafruddin di Jakarta, Senin (28/5), mengatakan, pihaknya menilai demikian menanggapi jawaban jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korusi (KPK). Tim kuasa hukum mempunyai beberapa faktor yang menjadi alasan bahwa ini error in persona, di antaranya kasus ini bukan tindak pidana korupsi melainkan perkara perdata.
Pertama, lanjut Hasbullah, bahwa dasar dakwaan jaksa penuntut umum KPK mendakwa Syafruddin karena terdakwa tidak melaporkan adanya misrepresentasi Sjamsul Nursalim atas hutang petani tambak yang macet.
"Padahal kesepakatan kewajiban Sjamsul Nursalim pada tahun 1998 dalam MSAA [Master Settlement and Acquisition Agreement] yang diteken oleh pemerintah dan para debitur BLBI menjadi dasar penyelesaian masalah utang para debitur BLBI kepada pemerintah atau jauh sebelum SAT menjabat BPPN," ujar Hasbullah.
Pada saat itu, lanjut Hasbullah, Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Glen M Yusuf, menyepakati bahwa kewajiban Sjamsul Nursalim atas Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI)-BLBI adalah jumlah keseluruhan BDNI Rp 46,8 trilyun dengan pembayaran aset BDNI sejumlah Rp 18,8 trilyun dengan rincian piutang pihak ketiga, cash, dan piutang petani tambak sebesar Rp 4,8 trilyun.
Dengan demikian, sisa Rp 46,8 trilyun dikurangi Rp 18,8 trilyun adalah Rp 28 trilyun dibayar oleh Sjamsul Nursalim dengan rincian Rp 27 trilyun berupa aset dan Rp 1 trilyun berupa setara tunai. "Kesepakatan tersebut sudah dituangkan dalam MSAA yang ditandatangani Glen Yusuf dengan Sjamsul Nursalim," ujarnya dalam keterangan tertulis.
Kesepakatan tersebut kemudian telah dinyatakan selesai melalui Surat Realese and discharge yang ditandatangani oleh BPPN dan Menteri Keuangan tanggal 25 Mei 1999. Saat itu, Syafrudin belum menjabat sebagai Ketua BPPN.
Kemudian pada bulan November-nya, atas dasar audit LDD LGS dan FDD Artur Anderson, BPPN menyatakan Sjamsul Nursalim misrepresentasi karena utang petambak yang dijadikan alat bayar BDNI adalah kredit macet sehingga petambak tidak bayar Rp 4,8 trilyun.
"Oleh karena itu BPPN membebaskan secara sepihak kepada Sjamsul, kemudian Sjamsul menolak karena kewajibannya sudah disepakati sejumlah Rp 28 trilyun dan piutang petani tambak bukan tanggung jawabnya berdasarkan MSAA," ujar Hasbullah.
Dalam MSAA, lanjut Hasbullah, jika terjadi misrepresentasi itu tidak beralasan karena sudah disepakati, sehingga jika tidak disepakati adanya misrepresentasi, harus diselesaikan melalui pengadilan melalui gugatan perdata.
Namun BPPN dan pemerintah pada saat itu tidak melakukan gugatan di pengadilan sehigga sampai dengan Syafrudin menjabat ketua BPPN pada 22 April 2002, tidak pernah Sjamsul secara hukum dinyatakan misrepresentasi.
Karena itulah, dasar KPK mendakwa Syafrudin merupakan wilayah hukum perdata bukan pidana. "Sehingga dakwaan KPK salah orang [error in persona]," kata Hasbullah.
Alasan lainnya bahwa dakwaan jaksa penuntut umum KPK salah orang (error in persona), lanjut Hasbullah, sebab SKL yang dikeluarkan Syafruddin adalah perintah Presiden Megawati melalu Inpres Nomor 8 Tahun 2002.
Selain itu, kata Hasbullah, adanya SKL juga atas perintah KKSK yang beranggotakan 5 menteri yakni Menko Ekuin, Menkeu, Meneg BUMN, Menteri perindustrian, dan Kepala Bapenas serta persetujuan Meneg BUMN sebagai atasan Syafrudin, sehingga dia hanya menjalankan perintah jabatan. "Jadi salah kalau SAT yang disalahkan harusnya yang disalahkan yang memerintahkan," ujarnya.
Kemudian, lanjut Hasbullah, saat BBPN berakhir tanggal 27 Februari 2004 atas perintah KKSK, Syafrudin menyerahkan pelimpahan aset piutang petambak sejumlah total Rp 4,8 trilyun kepada Menteri Keuangan, yang kemudian oleh Menkeu aset piutang petambak dijual bersama-sama Perusahaan Pengelola Aset (PT PPA) senilai Rp 220 milyar pada tahun 2007.
Namun kemudian, berdarakan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tiba-tiba dinyatakan ada kerugian negara sejumlah Rp 4,58 trilyun. Jika memang terjadi kerugian negara, kata Hasbullah, harusnya yang nertanggung jawab Menkeu dan PT PPA.
"Karena Syafruddin sudah selesai tahun 2004, sedangkan penjualan tahun 2007 dan bukan oleh Syafrudin, sehingga ini adalah error in persona," katanya.
Sementara itu, pengamat hukum pidana dari Univeristas Al Azhar, Suparji Ahmad, mengatakan, dalam kasus Syafruddin memang ada unsur perdata karena soal kewajibannya telah diselesaikan melalui hubungan keperdataan. Namun adanya dugaan unsur kerugian negara, memperkaya orang lain atau korporasi.
"Itu menjadi tantangan bagi Pengadilan Tipikor, apakah bisa membuktikan adanya nilai kerugian negara yang menjadi unsur pidana korupsi. Atau bisa jadi pengadilan membuktikan dugaan bahwa terbitnya perjanjian MSAA ada unsur yang tidak sesuai dengan mekanisme hukum yang benar," ujarnya kepada wartawan.
Sementara kuasa hukum terdakwa Syafruddin lainnya, Ahmad Yani, menilai tanggapan jaksa penuntut umum KPK yang dibacakan hari ini, secara substansial mengakui eksepsi tim kuasa hukum. "Tinggal bagaimana nanti hakim memutuskan dalam putusan sela," katanya.
Editor: Iwan Sutiawan
Let's block ads! (Why?)
Baca Di berikut nya https://www.gatra.com/rubrik/nasional/324669-ini-alasan-tim-kuasa-hukum-dakwaan-skl-blbi-error-in-persona